Senin, 23 Mei 2016

Menyandarkan Nafkah pada ‘Martonun Ulos’

(Analisa/sarifuddin siregar) ULOS BATAK: Tetty Manurung, gadis berparas cantik di Desa Silalahi 2 `Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi 'martonun ulos' Batak demi membantu orang tua, belum lama ini.

Oleh: Sarifuddin Siregar 
Seorang gadis berparas can­tik duduk di atas kasur hijau nan usang di teras rumah. Kedua kaki di­biarkan memanjang na­mun area ker­ja ditutup sarung un­tuk menjaga etika. Kediaman perma­nen itu tam­pak teduh. Tak banyak barang mewah di dalam. Di dekat pintu masuk, ber­jejer gulungan benang dan rang­kaian kayu alat kerja bergaya tra­disional.
Pandangan perempuan itu fo­kus ke jalinan benang meman­jang di ha­dapannya. Jemari tamp­ak begitu ce­katan dan lincah me­narik utasan berwarna terong pe­kat dari satu jalur ke jalur di se­be­lahnya yang beru­kuran cukup rapat.
Sesekali, tangan kanan ber­gerak me­narik sepotong kayu li­cin yang kemudian diselipkan di atas jalinan tadi. Kayu mirip rol pan­jang di era sekolahan tahun 1980 itu kemudian ditekan agar ra­jutan memadat. Se­sekali ter­dengar suara benturan agak halus pe­randa rongga antar benang te­lah tertutup.
Kurun waktu lumayan lama, pe­rempuan berambut hitam se­bahu ini, seakan bertahan di kasur tadi. Se­pertinya, dia berpacu de­ngan wak­tu guna menyelesaikan satu lem­baran kain karya kera­jinan tangan.
Pun demikian, pemilik kulit sa­wo matang nan manis ini ter­tengok mu­dah melempar senyum kala em­pat wartawan datang men­­dekat ke arah­nya. Kami me­ngam­bil posisi di teras berjarak se­kitar 2 meter agar tidak sampai mengganggu kegiatan. Semen­tara, perempuan baru menyele­sai­­kan ujian nasional SMA itu ka­mi persi­lah­kan mene­ruskan aktivitas. Lembaran mulai berbentuk. Uku­ran panjang dua jengkal ber­lebar satu meter itu sudah menjadi ba­kal kain.
Sementara itu, di pela­taran ru­mah, sang bunda Asda boru Sila­lahi (45) terlihat mengusap-usap cai­­ran ke gumpalan benang. Ben­da tersebut kemudian dikering­kan di bawah terpaan te­rik mata­hari. Me­reka intens melak­sana­kan tugas ma­sing-ma­sing sebagai sebagai sebuah taha­pan pe­­kerjaan.
‘Martonun ulos’, begitu orang Batak menyebut kegiatan se­de­mi­kian di Dusun 2 Silassang Desa Sila­lahi 2 Kecamatan Sila­hi­sa­bu­ngan Kabupaten Dairi, Su­matera Utara. Dalam bahasa umum, pe­ker­jaan ini diterjemah­kan de­ngan ka­ta ber­tenun. Mar­tonun, men­jadi sebuah ke­biasaan kaum kar­tini di Desa Si­lalahi-Paropo, per­kam­pungan indah dan mem­pe­sona di dekat desiran air dan gu­lungan ombak Danau Toba.
Tetty Manurung (18), itu nama pe­rempuan santun mengenakan bu­sana warna pink berliris yang me­ne­­rima diwawancarai. Dia me­­nga­ku, sudah bergelut di krea­si ini sejak kelas 3 SMP. Me­mang, ada naluri ingin menguasai warisan leluhur tersebut.
Ilmu itu diperoleh dari bunda. Ka­renanya, pengeta­huan relatif gam­pang ditangkap. Apa­lagi, jamak kaum hawa meng­geluti usaha sejenis di lingkungannya.
“Saya ingin melanjutkan ku­liah. Ingin ambil program studi geografi atau tata boga di Universitas Negeri Medan” kata anak kedua dari 3 ber­saudara, Sabtu (9/4). Dia ber­harap diterima lewat jalur bidik missi. Permohonan sudah dikirim ke panitia seleksi.
Mendengar penjelasan Tetty, Asda pun mendekat. Mudah-mu­da­­han­lah anakku lulus ke PTN. Biar bisa berguna buat ke­luar­ga, kata dia. Kalau kuliah ke swas­ta, biaya terlalu berat semen­tara kehidupan keluarga, sepe­nuh­nya bersandar pada hasil te­nunan.
Kerja Keras
13 tahun silam, dirinya me­rang­­kap menjadi kepala keluarga. Sang suami Jadi Manurung di­pang­gil meng­hadap Sang Pencip­ta. Sejak saat itu, mau tidak mau, anak harus serta merta banting tu­lang bersa­ma­nya demi rupiah.
Jika tidak, ba­gai­mana mung­kin sanggup me­nyekolahkan? Ia ber­­syukur. Ter­nyata, ketiga anak­nya penurut dan me­ngerti betapa berat­nya be­ban hidup.
Hampir tak ada waktu luang. Pu­lang sekolah, langsung kerja. Ma­sing-masing sudah punya tang­gung jawab. Berbekal ijajah SMA, putra sulung bekerja di ta­nah rantau dan ting­gallah dia beri­kut Tetty dan Irvan Manu­rung pelajar SMP.
Ibu ini berperan ‘mengungga’ be­nang. Mengungga adalah taha­pan merubah benang menjadi kuat serta tanpa bulu. Pada proses ini, sejum­lah beras harus terlebih dahulu dimasak. Sesudahnya, be­nang dicelup ke nasi berair tajin. Se­­telah direndam beberapa me­nit, benang diangkat lalu dijemur. Pada saat pengeringan mesti juga disisir pakai brush lembut sehing­ga nasi tidak lengket. Jadi, sebe­lum jadi ulos, benang harus dika­sih makan nasi. Langkah lanjutan, Irvan me­nyu­­sun benang tadi ke dalam, be­berapa gu­lungan. Se­per­tinya mu­dah dice­rita­kan, na­mun se­sung­guhnya mesti telaten dan sa­bar melaksanakan.
Ketika gulungan rampung, ba­ru­­lah bahan dibawa ke meja mar­­to­nun. Meja ini, bukanlah se­perti me­ja di rumah. Terdiri dari be­berapa broti yang dipadu pakai paku ber­bentuk segi tiga atau dina­mai si­duruan. Penenun duduk di celah kayu ter­­dekat ke lantai. Sete­rusnya, be­­nang diselipkan bagai sebuah ru­mus mati yang merupa­kan tahapan pem­buatan ulos.
Tunduhan, mata-mata, baliga, par­giun bolon, hatolungan, totar, lidi-lidi dan panapari adalah ra­gam kayu perangkat kerja mar­to­nun dimaksud. Semua elemen ini punya fungsi spesifik dan sa­ling mendu­kung. Asda menerangkan, butuh mo­dal kurang lebih 65 ribu mem­beli be­nang untuk menghasilkan se­helai ulos ‘sigara-gara’. Per­leng­kapan adat istiadat itu dijual Rp150 ribu ke­­pada peda­gang pengumpul di ling­kungannya.
Biasanya, dise­rah­kan ke toke pada hari Minggu. Pro­duk ter­sebut kemudian dipasarkan ke Kabanjahe Kabu­paten Karo. Dika­takan, kaum ibu jamak ber­ge­lut di bisnis tenu­nan. Pasar­nya cu­kup terbuka. Bera­papun ba­rang, selalu laku. Produksi ulos hasil mesin tidaklah mem­pe­ngaruhi permintaan.
Dalam satu minggu rata-rata di­ha­silkan 3 helai. Itu ke­mam­puan rata-rata. Asda mengu­ta­ra­kan, ke­jar target 1 lembar per hari. Tapi, ka­l­au diutarakan de­mi­kian, mung­kin dianggap som­bong. Mau tidak mau, harus kerja ker­ja dan kerja su­paya dapat uang. Sum­ber keua­ngan hanya di­peroleh dari mar­tonun. Marto­nun tok, kata pe­rem­puan yang menekuni seni itu se­jak usia 13 tahun. Diutarakan, jikapun ada ban­tuan, hingga kini, dirinya belum per­nah kebagian. Dia sangat me­nan­tikan donasi, minimal motivasi.



Dikutip dari Harian Analisa edisi  Jumat 15 april 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar