Oleh: Sarifuddin Siregar
Seorang gadis berparas cantik duduk di atas kasur hijau nan usang di teras rumah. Kedua kaki dibiarkan memanjang namun area kerja ditutup sarung untuk menjaga etika. Kediaman permanen itu tampak teduh. Tak banyak barang mewah di dalam. Di dekat pintu masuk, berjejer gulungan benang dan rangkaian kayu alat kerja bergaya tradisional.
Pandangan perempuan itu fokus ke jalinan benang memanjang di hadapannya. Jemari tampak begitu cekatan dan lincah menarik utasan berwarna terong pekat dari satu jalur ke jalur di sebelahnya yang berukuran cukup rapat.
Sesekali, tangan kanan bergerak menarik sepotong kayu licin yang kemudian diselipkan di atas jalinan tadi. Kayu mirip rol panjang di era sekolahan tahun 1980 itu kemudian ditekan agar rajutan memadat. Sesekali terdengar suara benturan agak halus peranda rongga antar benang telah tertutup.
Kurun waktu lumayan lama, perempuan berambut hitam sebahu ini, seakan bertahan di kasur tadi. Sepertinya, dia berpacu dengan waktu guna menyelesaikan satu lembaran kain karya kerajinan tangan.
Pun demikian, pemilik kulit sawo matang nan manis ini tertengok mudah melempar senyum kala empat wartawan datang mendekat ke arahnya. Kami mengambil posisi di teras berjarak sekitar 2 meter agar tidak sampai mengganggu kegiatan. Sementara, perempuan baru menyelesaikan ujian nasional SMA itu kami persilahkan meneruskan aktivitas. Lembaran mulai berbentuk. Ukuran panjang dua jengkal berlebar satu meter itu sudah menjadi bakal kain.
Sementara itu, di pelataran rumah, sang bunda Asda boru Silalahi (45) terlihat mengusap-usap cairan ke gumpalan benang. Benda tersebut kemudian dikeringkan di bawah terpaan terik matahari. Mereka intens melaksanakan tugas masing-masing sebagai sebagai sebuah tahapan pekerjaan.
‘Martonun ulos’, begitu orang Batak menyebut kegiatan sedemikian di Dusun 2 Silassang Desa Silalahi 2 Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Dalam bahasa umum, pekerjaan ini diterjemahkan dengan kata bertenun. Martonun, menjadi sebuah kebiasaan kaum kartini di Desa Silalahi-Paropo, perkampungan indah dan mempesona di dekat desiran air dan gulungan ombak Danau Toba.
Tetty Manurung (18), itu nama perempuan santun mengenakan busana warna pink berliris yang menerima diwawancarai. Dia mengaku, sudah bergelut di kreasi ini sejak kelas 3 SMP. Memang, ada naluri ingin menguasai warisan leluhur tersebut.
Ilmu itu diperoleh dari bunda. Karenanya, pengetahuan relatif gampang ditangkap. Apalagi, jamak kaum hawa menggeluti usaha sejenis di lingkungannya.
“Saya ingin melanjutkan kuliah. Ingin ambil program studi geografi atau tata boga di Universitas Negeri Medan” kata anak kedua dari 3 bersaudara, Sabtu (9/4). Dia berharap diterima lewat jalur bidik missi. Permohonan sudah dikirim ke panitia seleksi.
Mendengar penjelasan Tetty, Asda pun mendekat. Mudah-mudahanlah anakku lulus ke PTN. Biar bisa berguna buat keluarga, kata dia. Kalau kuliah ke swasta, biaya terlalu berat sementara kehidupan keluarga, sepenuhnya bersandar pada hasil tenunan.
Kerja Keras
13 tahun silam, dirinya merangkap menjadi kepala keluarga. Sang suami Jadi Manurung dipanggil menghadap Sang Pencipta. Sejak saat itu, mau tidak mau, anak harus serta merta banting tulang bersamanya demi rupiah.
Jika tidak, bagaimana mungkin sanggup menyekolahkan? Ia bersyukur. Ternyata, ketiga anaknya penurut dan mengerti betapa beratnya beban hidup.
Hampir tak ada waktu luang. Pulang sekolah, langsung kerja. Masing-masing sudah punya tanggung jawab. Berbekal ijajah SMA, putra sulung bekerja di tanah rantau dan tinggallah dia berikut Tetty dan Irvan Manurung pelajar SMP.
Ibu ini berperan ‘mengungga’ benang. Mengungga adalah tahapan merubah benang menjadi kuat serta tanpa bulu. Pada proses ini, sejumlah beras harus terlebih dahulu dimasak. Sesudahnya, benang dicelup ke nasi berair tajin. Setelah direndam beberapa menit, benang diangkat lalu dijemur. Pada saat pengeringan mesti juga disisir pakai brush lembut sehingga nasi tidak lengket. Jadi, sebelum jadi ulos, benang harus dikasih makan nasi. Langkah lanjutan, Irvan menyusun benang tadi ke dalam, beberapa gulungan. Sepertinya mudah diceritakan, namun sesungguhnya mesti telaten dan sabar melaksanakan.
Ketika gulungan rampung, barulah bahan dibawa ke meja martonun. Meja ini, bukanlah seperti meja di rumah. Terdiri dari beberapa broti yang dipadu pakai paku berbentuk segi tiga atau dinamai siduruan. Penenun duduk di celah kayu terdekat ke lantai. Seterusnya, benang diselipkan bagai sebuah rumus mati yang merupakan tahapan pembuatan ulos.
Tunduhan, mata-mata, baliga, pargiun bolon, hatolungan, totar, lidi-lidi dan panapari adalah ragam kayu perangkat kerja martonun dimaksud. Semua elemen ini punya fungsi spesifik dan saling mendukung. Asda menerangkan, butuh modal kurang lebih 65 ribu membeli benang untuk menghasilkan sehelai ulos ‘sigara-gara’. Perlengkapan adat istiadat itu dijual Rp150 ribu kepada pedagang pengumpul di lingkungannya.
Biasanya, diserahkan ke toke pada hari Minggu. Produk tersebut kemudian dipasarkan ke Kabanjahe Kabupaten Karo. Dikatakan, kaum ibu jamak bergelut di bisnis tenunan. Pasarnya cukup terbuka. Berapapun barang, selalu laku. Produksi ulos hasil mesin tidaklah mempengaruhi permintaan.
Dalam satu minggu rata-rata dihasilkan 3 helai. Itu kemampuan rata-rata. Asda mengutarakan, kejar target 1 lembar per hari. Tapi, kalau diutarakan demikian, mungkin dianggap sombong. Mau tidak mau, harus kerja kerja dan kerja supaya dapat uang. Sumber keuangan hanya diperoleh dari martonun. Martonun tok, kata perempuan yang menekuni seni itu sejak usia 13 tahun. Diutarakan, jikapun ada bantuan, hingga kini, dirinya belum pernah kebagian. Dia sangat menantikan donasi, minimal motivasi.
Dikutip dari Harian Analisa edisi Jumat 15 april 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar