Oleh: Sarifuddin Siregar
Oleh: Sarifuddin Siregar UPACARA peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2016 di Lapangan Sudirman Sidikalang Kabupaten Dairi, terasa lain dibanding pelaksanaan tahun sebelumnya. Kali ini, penyelenggaraan terkesan luar biasa. Excellent, begitu kata pelajar yang cakap berbahasa Inggris. Fantastis, ujar teman. Uli nai tutu, ucap rekan berdialeg Toba.
Agenda itu merupakan ruang terhormat bagi para siswa unjuk kebolehan. Bila pada kegiatan terdahulu cenderung seremoni mengedepankan pembacaan pidato menteri, kali ini justru menampilkan talenta-talenta titipan Tuhan. Andaikan tuan hadir, tampilan ini merupakan realitas bahwa anak-anak desa tak kalah dibanding di perkotaan. Par Dairi, bisa! Bisa mengukir prestasi! Barangkali, kalimat ini ideal memotivasi sekaligus parameter bahwa daerah otonom sentra kopi dan jeruk manis ini, adalah gudangnya cendikiawan bangsa. Percaya atau tidak, Dairi adalah kepingan Tanah Kanaan yang dijanjikan Tuhan.
Bila di era sekarang bercokol sejumlah nama di panggung nasional seumpana DR Junimart Girsang anggota Komisi 3 Fraksi PDIP DPR RI, Vicner Sinaga Direktur Operasi Indonesia Timur PT PLN, Juniver Girsang pengacara kondang, MP Tumanggor Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Robert Njo dan Togam Gultom pengusaha papan atas, DR Sabam Malau Rektor Universitas HKBP Nomensen, DR Kastorius Sinaga dosen pasca sarjana Universitas Indonesia yang juga mantan Penasehat Kapolri ke depan, generasi penerus wajar lebih jamak. Betapa tidak? Cikal bakal tersebut sudah terlihat. Bahkan, mental mereka sepertinya teruji kendati usia relatif belia.
Seputar gemilang SMA Negeri 1 Sidikalang, tentulah bukan isu baru. Maklum, alumni sekolah ini sudah menembus berbagai perguruan tinggi negeri hingga Pulau Jawa. Karenanya, lumrah juga kalau panitia hanya meluangkan kesempatan bagi siswa ini buat menggelar vocal group, melantunkan lagu versi Batak Toba, Indonesia serta senandung You Raise me Up.
Kekaguman muncul kala siswa SMAN Parbuluan dilaga dengan SMAN Sumbul terkait pandangan keberadaan internet. Kompetisi dilangsungkan di ruang terbuka di hadapan publik. Esra Situmorang, Simpani Asri Tinambunan dan Febrina Sagala memaparkan pendapat secara lugas menghadapi rival Juan Siahaan dan rekan. Gambaran umum, bahwa internet tersebut punya peran penting baik dalam sektor pendidikan maupun ekonomi. Melalui jaringan dunia maya termasuk sosial media, dapat mengakses semua informasi sesuai kebutuhan. Pun demikian, memang ada sisi negatif, semisal pornografi. Internet juga bisa merusak mental. Adu argumentasi menunjukkan bahwa mereka punya rasa percaya diri. Tak ada kesan canggung di hadapan pejabat sekalipun.
Story telling
Pada giliran berikut secara personal, siswa menunjukkan kelincahan terkait peran ganda dan langsung lewat sebuah legenda. Di atas altar berukuran 2x2 meter, Pratiwi Anastia Simbolon siswa kelas 4 SD 030930 Parongil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga didaulat sebagai penyaji pertama. Tubuh mungil berwajah menawan ini begitu smart. Mengenakan baju merah sedikit silau serta berlengan pendek, perempuan ini memperkenalkan diri.
Bahasa Inggris sepertinya menjadi bagian dari jiwa sejak mengenal kata.Allow me to introduce my self. My name is Pratiwi, ujarnya sembari sedikit membungkukkan kepala pertanda hormat buat hadirin saat mulai berlakon.
Full in english and automatically. Ini fakta tampilan bocah dari desa mampu memukau. Padahal di lingkungan sekolah dimaksud terbilang jarang tersedia kursus. Sekolah level SD di desa belum menyediakan materi pelajaran ini. Dia memberi pengantar bahwa cerita rakyat di Padang Sumatera Barat akan dibawakan.
Di bawah terik matahari, Pratiwi memerankan bagaimana kisah pilu Malinkundang di kampung halaman. Berbekal doa restu ibu, dia merantau hingga menjadi kaya raya. Doa bunda senantiasa bersamanya. Pada sesi ini, pemain mengenakan topi layaknya seorang pria. Lalu dalam hitungan detik, dia mengganti peran sebagai seorang ibu. Kerudung dililitkan di kepala sembari berjalan mencari putra tercinta. Dalam sebuah kesempatan, bunda mendengar kabar, Malinkundang sudah sukses. Dia berhasil bertemu. Namun apa? Malinkundang menistakan sang ibu.
“You are not my mother. I dont know you,” kata Malinkundang disuarakan Pratiwi dengan nada marah dan kesal. Kala itu, Pratiwi mengenakan topi ibarat orang besar.
“Really, I am your mother. You are my son,” kata ibu Malinkundang lagi. Dengan lincah, Pratiwi melilitkan kerudung di wajah persis seorang ibu datang dari desa. Ucapan dusta oleh putranya tak membuat bunda menangis patah arang. Dia kemudian menemui istri Malinkundang. Lagi-lagi, Pratiwi mampu bergaya layaknya seorang istri sombong.
“I don,t know you. I hate you,” kata istri Malinkundang. Sang bunda pun putus asa. Tak lama berselang, kedurhakaan berbuah petaka dimana Malinkundang jatuh miskin. Bisnisnya bangkrut. Dia minta maaf kepada perempuan yang melahirkannya, namun penyesalan selalu terlambat.
Legenda Malinkundang, bukan hanya ditampilkan Pratiwi. Dimas Nainggolan siswa kelas IX SMPN 2 Bangun Kecamatan Parbuluan malah more fluent. Mengapa? Lakonnya mendekati kenyataan. Apalagi, dia mengenakan kopiah putih dan pakaian muslim ala koko agak kusam. Persis cermin keluarga sederhana. Guna mendekatkan diri pada cerita sebenarnya, kain sarung kotak-kotak pun digantungkan di bahu memanjang ke pinggang. Pelajar ini memilih rumput hijau menjadi area pertunjukan.
Dimas pria bertubuh tambun adalah putra dari keluarga seorang petani berdomisili di Desa Sigalingging Kecamatan Parbuluan. Sehari-hari ayahanda Raja Nainggolan dan bunda bekerja di ladang bertanam jeruk manis dan saat ini merawat cabe merah. Pengetahuan bahasa Inggris ditimba melalui kursus di sekitaran rumah mulai kelas 4 SD sampai kelas 5. Kegiatan non formal terhenti di kelas 6 lantaran bersiap mengikuti ujian nasional.
Sejak di kursi SMP, bidang studi ini menjadi favorit. Salah satu strategi adalah rajin membaca dan mengulangi tayangan video. Kini, huruf “r” nya pun tak lagi terdengar di pengucapan. Marianna Limbong, guru di sekolah itu menyebut, pihaknya memberi bimbingan setiap hari. Siswa tak lagi punya waktu luang. Itu siasat agar anak desa mampu mengimbangi pelajar di kota.
Penulis melihat keakraban Marianna dan Dimas kala makan siang pasca agenda. Guru ini memperlakuan siswa layaknya seorang anak penuh kasih sayang. Menu enak disuguhkan. Hanya saja, Dimas menyimpan sikap enggan melalap makanan lezat tadi.
Sementara itu, Endro Manik siswa kelas 5 SD 030334 Sumbul mengedepankan potensi dan kearifan lokal. Sehelai ulos Batak melilit di pinggang sedang di bahu menggantung ulos.
Dia bercerita tentang perjuangan seorang petani mendapatkan ikan di Danau Toba. Kepala keluarga itu rutin memancing. Sedang Silvia Manalu seorang pelajar SMP memperkenalkan cerita rakyat Pakpak terpopuler bertajuk Nantampuk Mas. Gadis berambut lurus hampir sepinggang ini mengenakan pakaian khas simbol suku Pakpak.
Seruling Emas
Bukan hanya piawai berperan bak artis. Potensi generasi pemuda di Dairi, terbukti cukup tangguh olah vocal. 300 siswa SD, SMP dan SMA berbaris meniup seruling melantunkan ragam tembang lewat suara lobang bambu. Dipandu seniman Martogi Sitohang, pelajar memulai aksinya dengan lagu berjudul tangiang ni dainang, diikuti tiris mo, taridem-idem, tolu sa hundulanhingga ditutup hymne guru.
Beberapa diantaranya mengenakan ulos Batak di bahu. Mereka tampil apa adanya mengesankan berasal dari desa. Jauh dari eksklusif. Nada berdendang syahdu dan kocak ditiup silih berganti. Seruling, merupakan alat musik tradisional Batak Toba yang kian reduh. Sehubungan itu, ketertarikan siswa adalah solusi mempertahankan warisan budaya.
Acara diakhiri sajian marching band beberapa sekolah diantaranya SMPN 1 Sidikalang, SMA N 1 Sidikalang, SMA St Petrus Sidikalang serta Ar Rahman dari Desa Pasi Kecamatan Berampu.
Bupati KRA Johnny Sitohang Adinegoro dan Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengapresias. Kualitas pelajar melejit kencang. Dia berobsesi, sekolah menerapkan english day. Relevan dengan itu, para juara akan disertakan saat menjamu tamu pemerintah. Mereka bakal sering tampil di beberapa even penting.
Sitohang bergelar Oppu Clinton bermimpi, suatu hari, akan terjaring diplomat handal, sutradara berkelas internasional serta calon pemimpin bangsa dari wilayah binaannya.
“Saya dan tuan tentu terpukau menyaksikan kepiawaian tadi. Kuantita sosok cerdas dimaksud, sesungguhnya jauh lebih banyak. Penampilan pelajar terbatas oleh ruang dan kesempatan”.
Namun, kita perlu ingat, kemahiran kusuma bangsa, bukan murni atas kemampuan pribadi. Guru, pengelola kursus dan Dinas Pendidikan serta pengambil kebijakan punya andil penting memotivasi anak didik. Karenanya, jangan sesekali menyakiti guru! Hormatilah guru. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
UPACARA peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2016 di Lapangan Sudirman Sidikalang Kabupaten Dairi, terasa lain dibanding pelaksanaan tahun sebelumnya. Kali ini, penyelenggaraan terkesan luar biasa. Excellent, begitu kata pelajar yang cakap berbahasa Inggris. Fantastis, ujar teman. Uli nai tutu, ucap rekan berdialeg Toba.
Agenda itu merupakan ruang terhormat bagi para siswa unjuk kebolehan. Bila pada kegiatan terdahulu cenderung seremoni mengedepankan pembacaan pidato menteri, kali ini justru menampilkan talenta-talenta titipan Tuhan. Andaikan tuan hadir, tampilan ini merupakan realitas bahwa anak-anak desa tak kalah dibanding di perkotaan. Par Dairi, bisa! Bisa mengukir prestasi! Barangkali, kalimat ini ideal memotivasi sekaligus parameter bahwa daerah otonom sentra kopi dan jeruk manis ini, adalah gudangnya cendikiawan bangsa. Percaya atau tidak, Dairi adalah kepingan Tanah Kanaan yang dijanjikan Tuhan.
Bila di era sekarang bercokol sejumlah nama di panggung nasional seumpana DR Junimart Girsang anggota Komisi 3 Fraksi PDIP DPR RI, Vicner Sinaga Direktur Operasi Indonesia Timur PT PLN, Juniver Girsang pengacara kondang, MP Tumanggor Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Robert Njo dan Togam Gultom pengusaha papan atas, DR Sabam Malau Rektor Universitas HKBP Nomensen, DR Kastorius Sinaga dosen pasca sarjana Universitas Indonesia yang juga mantan Penasehat Kapolri ke depan, generasi penerus wajar lebih jamak. Betapa tidak? Cikal bakal tersebut sudah terlihat. Bahkan, mental mereka sepertinya teruji kendati usia relatif belia.
Seputar gemilang SMA Negeri 1 Sidikalang, tentulah bukan isu baru. Maklum, alumni sekolah ini sudah menembus berbagai perguruan tinggi negeri hingga Pulau Jawa. Karenanya, lumrah juga kalau panitia hanya meluangkan kesempatan bagi siswa ini buat menggelar vocal group, melantunkan lagu versi Batak Toba, Indonesia serta senandung You Raise me Up.
Kekaguman muncul kala siswa SMAN Parbuluan dilaga dengan SMAN Sumbul terkait pandangan keberadaan internet. Kompetisi dilangsungkan di ruang terbuka di hadapan publik. Esra Situmorang, Simpani Asri Tinambunan dan Febrina Sagala memaparkan pendapat secara lugas menghadapi rival Juan Siahaan dan rekan. Gambaran umum, bahwa internet tersebut punya peran penting baik dalam sektor pendidikan maupun ekonomi. Melalui jaringan dunia maya termasuk sosial media, dapat mengakses semua informasi sesuai kebutuhan. Pun demikian, memang ada sisi negatif, semisal pornografi. Internet juga bisa merusak mental. Adu argumentasi menunjukkan bahwa mereka punya rasa percaya diri. Tak ada kesan canggung di hadapan pejabat sekalipun.
Story telling
Pada giliran berikut secara personal, siswa menunjukkan kelincahan terkait peran ganda dan langsung lewat sebuah legenda. Di atas altar berukuran 2x2 meter, Pratiwi Anastia Simbolon siswa kelas 4 SD 030930 Parongil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga didaulat sebagai penyaji pertama. Tubuh mungil berwajah menawan ini begitu smart. Mengenakan baju merah sedikit silau serta berlengan pendek, perempuan ini memperkenalkan diri.
Bahasa Inggris sepertinya menjadi bagian dari jiwa sejak mengenal kata.Allow me to introduce my self. My name is Pratiwi, ujarnya sembari sedikit membungkukkan kepala pertanda hormat buat hadirin saat mulai berlakon.
Full in english and automatically. Ini fakta tampilan bocah dari desa mampu memukau. Padahal di lingkungan sekolah dimaksud terbilang jarang tersedia kursus. Sekolah level SD di desa belum menyediakan materi pelajaran ini. Dia memberi pengantar bahwa cerita rakyat di Padang Sumatera Barat akan dibawakan.
Di bawah terik matahari, Pratiwi memerankan bagaimana kisah pilu Malinkundang di kampung halaman. Berbekal doa restu ibu, dia merantau hingga menjadi kaya raya. Doa bunda senantiasa bersamanya. Pada sesi ini, pemain mengenakan topi layaknya seorang pria. Lalu dalam hitungan detik, dia mengganti peran sebagai seorang ibu. Kerudung dililitkan di kepala sembari berjalan mencari putra tercinta. Dalam sebuah kesempatan, bunda mendengar kabar, Malinkundang sudah sukses. Dia berhasil bertemu. Namun apa? Malinkundang menistakan sang ibu.
“You are not my mother. I dont know you,” kata Malinkundang disuarakan Pratiwi dengan nada marah dan kesal. Kala itu, Pratiwi mengenakan topi ibarat orang besar.
“Really, I am your mother. You are my son,” kata ibu Malinkundang lagi. Dengan lincah, Pratiwi melilitkan kerudung di wajah persis seorang ibu datang dari desa. Ucapan dusta oleh putranya tak membuat bunda menangis patah arang. Dia kemudian menemui istri Malinkundang. Lagi-lagi, Pratiwi mampu bergaya layaknya seorang istri sombong.
“I don,t know you. I hate you,” kata istri Malinkundang. Sang bunda pun putus asa. Tak lama berselang, kedurhakaan berbuah petaka dimana Malinkundang jatuh miskin. Bisnisnya bangkrut. Dia minta maaf kepada perempuan yang melahirkannya, namun penyesalan selalu terlambat.
Legenda Malinkundang, bukan hanya ditampilkan Pratiwi. Dimas Nainggolan siswa kelas IX SMPN 2 Bangun Kecamatan Parbuluan malah more fluent. Mengapa? Lakonnya mendekati kenyataan. Apalagi, dia mengenakan kopiah putih dan pakaian muslim ala koko agak kusam. Persis cermin keluarga sederhana. Guna mendekatkan diri pada cerita sebenarnya, kain sarung kotak-kotak pun digantungkan di bahu memanjang ke pinggang. Pelajar ini memilih rumput hijau menjadi area pertunjukan.
Dimas pria bertubuh tambun adalah putra dari keluarga seorang petani berdomisili di Desa Sigalingging Kecamatan Parbuluan. Sehari-hari ayahanda Raja Nainggolan dan bunda bekerja di ladang bertanam jeruk manis dan saat ini merawat cabe merah. Pengetahuan bahasa Inggris ditimba melalui kursus di sekitaran rumah mulai kelas 4 SD sampai kelas 5. Kegiatan non formal terhenti di kelas 6 lantaran bersiap mengikuti ujian nasional.
Sejak di kursi SMP, bidang studi ini menjadi favorit. Salah satu strategi adalah rajin membaca dan mengulangi tayangan video. Kini, huruf “r” nya pun tak lagi terdengar di pengucapan. Marianna Limbong, guru di sekolah itu menyebut, pihaknya memberi bimbingan setiap hari. Siswa tak lagi punya waktu luang. Itu siasat agar anak desa mampu mengimbangi pelajar di kota.
Penulis melihat keakraban Marianna dan Dimas kala makan siang pasca agenda. Guru ini memperlakuan siswa layaknya seorang anak penuh kasih sayang. Menu enak disuguhkan. Hanya saja, Dimas menyimpan sikap enggan melalap makanan lezat tadi.
Sementara itu, Endro Manik siswa kelas 5 SD 030334 Sumbul mengedepankan potensi dan kearifan lokal. Sehelai ulos Batak melilit di pinggang sedang di bahu menggantung ulos.
Dia bercerita tentang perjuangan seorang petani mendapatkan ikan di Danau Toba. Kepala keluarga itu rutin memancing. Sedang Silvia Manalu seorang pelajar SMP memperkenalkan cerita rakyat Pakpak terpopuler bertajuk Nantampuk Mas. Gadis berambut lurus hampir sepinggang ini mengenakan pakaian khas simbol suku Pakpak.
Seruling Emas
Bukan hanya piawai berperan bak artis. Potensi generasi pemuda di Dairi, terbukti cukup tangguh olah vocal. 300 siswa SD, SMP dan SMA berbaris meniup seruling melantunkan ragam tembang lewat suara lobang bambu. Dipandu seniman Martogi Sitohang, pelajar memulai aksinya dengan lagu berjudul tangiang ni dainang, diikuti tiris mo, taridem-idem, tolu sa hundulanhingga ditutup hymne guru.
Beberapa diantaranya mengenakan ulos Batak di bahu. Mereka tampil apa adanya mengesankan berasal dari desa. Jauh dari eksklusif. Nada berdendang syahdu dan kocak ditiup silih berganti. Seruling, merupakan alat musik tradisional Batak Toba yang kian reduh. Sehubungan itu, ketertarikan siswa adalah solusi mempertahankan warisan budaya.
Acara diakhiri sajian marching band beberapa sekolah diantaranya SMPN 1 Sidikalang, SMA N 1 Sidikalang, SMA St Petrus Sidikalang serta Ar Rahman dari Desa Pasi Kecamatan Berampu.
Bupati KRA Johnny Sitohang Adinegoro dan Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengapresias. Kualitas pelajar melejit kencang. Dia berobsesi, sekolah menerapkan english day. Relevan dengan itu, para juara akan disertakan saat menjamu tamu pemerintah. Mereka bakal sering tampil di beberapa even penting.
Sitohang bergelar Oppu Clinton bermimpi, suatu hari, akan terjaring diplomat handal, sutradara berkelas internasional serta calon pemimpin bangsa dari wilayah binaannya.
“Saya dan tuan tentu terpukau menyaksikan kepiawaian tadi. Kuantita sosok cerdas dimaksud, sesungguhnya jauh lebih banyak. Penampilan pelajar terbatas oleh ruang dan kesempatan”.
Namun, kita perlu ingat, kemahiran kusuma bangsa, bukan murni atas kemampuan pribadi. Guru, pengelola kursus dan Dinas Pendidikan serta pengambil kebijakan punya andil penting memotivasi anak didik. Karenanya, jangan sesekali menyakiti guru! Hormatilah guru. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar