Senin, 23 Mei 2016

Par Dairi Bisa!


(Analisa/sarifuddin siregar) TERAMPIL: Bupati Kabupaten Dairi KRA Johnny Sitohang Adinegoro diabadikan  bersama Pratiwi Anastia Simbolon dan Endro Manik pelajar SD yang terampil berbahasa Inggris pada peringatan Hardiknas di Lapangan Sudirman Sidikalang, baru-baru ini.

Oleh: Sarifuddin Siregar 

Oleh: Sarifuddin Siregar UPACARA peringatan Hari Pen­didikan Nasional (Har­dik­nas), 2 Mei 2016 di Lapangan Su­dir­man Sidikalang Kabupaten Dairi, terasa lain dibanding pelaksanaan tahun sebelumnya. Kali ini, penye­lenggaraan terke­san luar biasa. Excellent, begitu kata pelajar yang cakap berbahasa Inggris. Fantastis, ujar teman. Uli nai tutu, ucap rekan berdialeg Toba.
Agenda itu merupakan ruang ter­hormat bagi para siswa unjuk ke­bolehan. Bila pada kegiatan ter­dahulu cenderung seremoni mengedepankan pem­bacaan pi­dato menteri, kali ini justru me­nampilkan talenta-talenta titipan Tuhan. Andaikan tuan hadir, tam­pilan ini merupakan realitas bah­wa anak-anak desa tak kalah di­banding di perkotaan. Par Dairi, bi­sa! Bisa mengukir prestasi! Ba­rangkali, kalimat ini ideal memo­tivasi sekaligus parameter bahwa daerah otonom sentra kopi dan jeruk manis ini, adalah guda­ngnya cendikiawan bangsa. Per­caya atau tidak, Dairi adalah kepingan Tanah Kanaan yang di­janjikan Tuhan.
Bila di era sekarang bercokol se­jumlah nama di panggung na­sional seumpana DR Junimart Gir­sang anggota Komisi 3 Fraksi PDIP DPR RI, Vicner Sinaga Di­rektur Operasi Indonesia Timur PT PLN, Juniver Girsang penga­cara kondang, MP Tu­manggor Ke­tua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Robert Njo dan Togam Gultom pe­ngu­saha papan atas, DR Sabam Malau Rektor Universitas HKBP No­mensen, DR Kastorius Sinaga dosen pasca sarjana Universitas In­donesia yang juga mantan Pe­nasehat Kapolri ke depan, gene­rasi penerus wajar lebih jamak. Be­tapa tidak? Cikal bakal ter­sebut sudah terlihat. Bahkan, men­tal mereka sepertinya teruji ken­dati usia relatif belia.
Seputar gemilang SMA Ne­geri 1 Sidikalang, tentulah bukan isu baru. Maklum, alumni sekolah ini sudah menembus berbagai perguruan tinggi negeri hingga Pulau Jawa. Karenanya, lumrah juga kalau panitia hanya melua­ng­kan kesempatan bagi siswa ini buat menggelar vocal group, me­lantunkan lagu versi Batak Toba, In­donesia serta senandung You Raise me Up.
Kekaguman muncul kala sis­wa SMAN Parbu­luan dilaga de­ng­an SMAN Sumbul terkait pan­dangan keberadaan internet. Ko­m­petisi dilangsung­kan di ruang terbuka di hadapan publik. Esra Si­tumo­rang, Simpani Asri Ti­nam­bunan dan Febrina Sagala me­maparkan penda­pat secara lu­gas meng­hadapi rival Juan Sia­haan dan rekan. Gambaran um­um, bahwa internet tersebut pun­ya peran penting baik dalam sek­tor pendidikan maupun eko­no­mi. Melalui jaringan dunia ma­ya termasuk sosial media, dapat me­ngakses semua in­for­masi se­suai kebutu­han. Pun de­mi­kian, me­mang ada sisi ne­gatif, semisal por­nografi. Inter­net juga bisa me­rusak mental. Adu argu­men­tasi menunjukkan bah­wa mereka punya rasa per­caya diri. Tak ada ke­san cang­gung di hadapan pe­jabat seka­lipun.
Story telling
Pada giliran berikut secara per­­sonal, siswa menunjukkan ke­­lincahan terkait peran ganda dan langsung lewat sebuah le­gen­da. Di atas altar berukuran 2x2 meter, Pratiwi Anastia Sim­bolon siswa kelas 4 SD 030930 Pa­­rongil, Kecamatan Silima Pung­ga-Pungga didaulat s­e­ba­gai penyaji pertama. Tubuh mu­ngil ber­wajah mena­wan ini be­gitu smart. Mengenakan baju me­rah sedikit silau serta ber­lengan pendek, perempuan ini mem­per­­­kenalkan diri.
Bahasa Inggris sepertinya men­jadi bagian dari jiwa sejak mengenal kata.Allow me to intro­duce my self. My name is Pra­tiwi, ujarnya sembari sedikit membungkukkan kepala pertan­da hor­mat buat hadirin saat mu­lai berlakon.
Full in english and automatically. Ini fakta tampilan bocah dari desa mampu memukau. Pa­dahal di lingkungan seko­lah di­maksud terbilang jarang tersedia kursus. Sekolah level SD di desa belum menyediakan materi pe­la­jaran ini. Dia memberi pe­ng­antar bahwa cerita rakyat di Pa­dang Sumatera Barat akan di­ba­wakan.
Di bawah terik matahari, Pra­tiwi me­merankan bagaimana kisah pilu Malin­kundang di kam­pung halaman. Berbekal doa restu ibu, dia merantau hingga menjadi kaya raya. Doa bunda senantiasa bersamanya. Pada se­si ini, pemain mengenakan topi layaknya seorang pria. Lalu dalam hitungan detik, dia meng­ganti peran sebagai seorang ibu. Kerudung dililitkan di kepala sem­bari berjalan mencari putra tercinta. Dalam sebuah kesem­patan, bunda mende­ngar kabar, Malinkundang sudah sukses. Dia berha­sil bertemu. Namun apa? Malinkundang menistakan sang ibu.
You are not my mother. I dont know you,” kata Malin­kun­dang disuarakan Pratiwi de­ngan nada marah dan kesal. Kala itu, Pratiwi mengenakan topi iba­rat orang besar.
Really, I am your mother. You are my son,” kata ibu Malinkundang lagi. Dengan lin­cah, Pratiwi melilitkan keru­du­ng di wajah persis seorang ibu da­tang dari desa. Ucapan dusta oleh putranya tak membuat bun­da menangis patah arang. Dia ke­mudian menemui istri Malin­kundang. Lagi-lagi, Pratiwi mampu bergaya layaknya seo­ra­ng istri sombong.
I don,t know you. I hate you,” kata istri Malinkundang. Sang bunda pun putus asa. Tak lama berselang, kedurha­kaan ber­buah petaka dimana Ma­linkun­dang jatuh miskin. Bis­nisnya bangkrut. Dia minta ma­af kepada perempuan yang me­lahirkannya, namun penye­salan selalu terlambat.
Legenda Malinkundang, bu­kan hanya ditampil­kan Pra­tiwi. Dimas Nainggolan siswa kelas IX SMPN 2 Bangun Keca­matan Parbuluan malah more fluent. Mengapa? Lakon­nya mendekati kenya­taan. Apalagi, dia menge­na­kan ko­piah putih dan pakaian muslim ala koko agak kusam. Persis cermin keluar­ga seder­hana. Guna mendekatkan diri pa­da cerita sebenarnya, kain sarung kotak-kotak pun digan­tu­ngkan di bahu memanjang ke ping­gang. Pelajar ini memilih rum­put hijau menjadi area per­tunjukan.
Dimas pria bertubuh tambun adalah putra dari keluarga seo­rang petani berdo­misili di Desa Siga­lingging Kecamatan Parbu­luan. Sehari-hari ayahanda Raja Nai­nggolan dan bunda bekerja di ladang bertanam jeruk manis dan saat ini merawat cabe me­rah. Pengetahuan bahasa Inggris ditimba melalui kursus di seki­taran rumah mulai kelas 4 SD sampai kelas 5. Kegiatan non for­mal terhenti di kelas 6 lan­taran bersiap mengikuti ujian na­sional.
Sejak di kursi SMP, bidang studi ini menjadi favorit. Salah satu strategi adalah rajin mem­baca dan mengulangi tayangan video. Kini, huruf “r” nya pun tak lagi terdengar di pengu­ca­pan. Marianna Limbong, guru di sekolah itu menyebut, pihak­nya memberi bimbingan setiap hari. Siswa tak lagi punya waktu luang. Itu siasat agar anak desa mampu mengim­bangi pelajar di kota.
Penulis melihat keakraban Marianna dan Dimas kala ma­kan siang pasca agenda. Guru ini memper­lakuan siswa layak­nya seorang anak penuh kasih sa­yang. Menu enak disuguhkan. Hanya saja, Dimas me­nyimpan sikap enggan melalap makanan le­zat tadi.
Sementara itu, Endro Manik siswa kelas 5 SD 030334 Sum­bul mengede­pan­kan potensi dan kearifan lokal. Sehelai ulos Batak melilit di pinggang sedang di bahu menggantung ulos.
Dia bercerita tentang perjua­ngan se­orang petani mendapatkan ikan di Danau Toba. Kepala keluarga itu rutin meman­cing. Sedang Silvia Manalu seorang pelajar SMP memperkenalkan cerita rak­yat Pakpak terpopuler bertajuk Nantam­puk Mas. Gadis berambut lurus hampir seping­gang ini mengenakan pakaian khas simbol suku Pakpak.
Seruling Emas
Bukan hanya piawai berperan bak artis. Potensi generasi pemuda di Dairi, terbukti cukup tangguh olah vocal. 300 siswa SD, SMP dan SMA berbaris meniup seru­ling melantunkan ragam tembang lewat suara lobang bambu. Dipan­du seniman Martogi Sitohang, pe­lajar memulai aksinya dengan lagu berjudul tangiang ni dainang, dii­kuti tiris mo, taridem-idemtolu sa hundulanhingga ditutup hymne guru.
Beberapa diantaranya menge­nakan ulos Batak di bahu. Mereka tampil apa adanya mengesankan be­rasal dari desa. Jauh dari eksk­lusif. Nada berdendang syahdu dan kocak ditiup silih berganti. Se­ru­ling, merupakan alat musik tradisio­nal Batak Toba yang kian reduh. Sehubu­ngan itu, keter­ta­rikan siswa adalah solusi memper­tahankan warisan budaya.
Acara diakhiri sajian marching band beberapa sekolah dian­ta­ranya SMPN 1 Sidikalang, SMA N 1 Sidikalang, SMA St Pet­rus Si­dikalang serta Ar Rahman dari Desa Pasi Ke­ca­matan Berampu.
Bupati KRA Johnny Sitohang Adine­goro dan Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengapresias. Kualitas pelajar melejit kencang. Dia berobsesi, sekolah mene­rap­­kan english day. Relevan dengan itu, para juara akan disertakan saat menjamu tamu pemerintah. Mere­ka bakal sering tampil di beberapa even penting.
Sitohang bergelar Oppu Clin­ton bermimpi, suatu hari, akan ter­jaring diplomat handal, sutra­dara berkelas inter­nasional serta calon pemimpin bangsa dari wila­yah binaannya.
“Saya dan tuan tentu terpukau me­nyak­sikan kepiawaian tadi. Kuantita sosok cerdas dimaksud, sesungguhnya jauh lebih banyak. Penampilan pelajar terbatas oleh ruang dan kesem­patan”.
Namun, kita perlu ingat, kem­a­hi­ran kusuma bangsa, bukan mur­ni atas kemampuan pribadi. Guru, pengelola kursus dan Dinas Pendidikan serta pengambil kebi­ja­kan punya andil penting memo­tivasi anak didik. Karenanya, ja­ngan sese­kali menyakiti guru! Hor­matilah guru. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
UPACARA peringatan Hari Pen­didikan Nasional (Har­dik­nas), 2 Mei 2016 di Lapangan Su­dir­man Sidikalang Kabupaten Dairi, terasa lain dibanding pelaksanaan tahun sebelumnya. Kali ini, penye­lenggaraan terke­san luar biasa. Excellent, begitu kata pelajar yang cakap berbahasa Inggris. Fantastis, ujar teman. Uli nai tutu, ucap rekan berdialeg Toba.
Agenda itu merupakan ruang ter­hormat bagi para siswa unjuk ke­bolehan. Bila pada kegiatan ter­dahulu cenderung seremoni mengedepankan pem­bacaan pi­dato menteri, kali ini justru me­nampilkan talenta-talenta titipan Tuhan. Andaikan tuan hadir, tam­pilan ini merupakan realitas bah­wa anak-anak desa tak kalah di­banding di perkotaan. Par Dairi, bi­sa! Bisa mengukir prestasi! Ba­rangkali, kalimat ini ideal memo­tivasi sekaligus parameter bahwa daerah otonom sentra kopi dan jeruk manis ini, adalah guda­ngnya cendikiawan bangsa. Per­caya atau tidak, Dairi adalah kepingan Tanah Kanaan yang di­janjikan Tuhan.
Bila di era sekarang bercokol se­jumlah nama di panggung na­sional seumpana DR Junimart Gir­sang anggota Komisi 3 Fraksi PDIP DPR RI, Vicner Sinaga Di­rektur Operasi Indonesia Timur PT PLN, Juniver Girsang penga­cara kondang, MP Tu­manggor Ke­tua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Robert Njo dan Togam Gultom pe­ngu­saha papan atas, DR Sabam Malau Rektor Universitas HKBP No­mensen, DR Kastorius Sinaga dosen pasca sarjana Universitas In­donesia yang juga mantan Pe­nasehat Kapolri ke depan, gene­rasi penerus wajar lebih jamak. Be­tapa tidak? Cikal bakal ter­sebut sudah terlihat. Bahkan, men­tal mereka sepertinya teruji ken­dati usia relatif belia.
Seputar gemilang SMA Ne­geri 1 Sidikalang, tentulah bukan isu baru. Maklum, alumni sekolah ini sudah menembus berbagai perguruan tinggi negeri hingga Pulau Jawa. Karenanya, lumrah juga kalau panitia hanya melua­ng­kan kesempatan bagi siswa ini buat menggelar vocal group, me­lantunkan lagu versi Batak Toba, In­donesia serta senandung You Raise me Up.
Kekaguman muncul kala sis­wa SMAN Parbu­luan dilaga de­ng­an SMAN Sumbul terkait pan­dangan keberadaan internet. Ko­m­petisi dilangsung­kan di ruang terbuka di hadapan publik. Esra Si­tumo­rang, Simpani Asri Ti­nam­bunan dan Febrina Sagala me­maparkan penda­pat secara lu­gas meng­hadapi rival Juan Sia­haan dan rekan. Gambaran um­um, bahwa internet tersebut pun­ya peran penting baik dalam sek­tor pendidikan maupun eko­no­mi. Melalui jaringan dunia ma­ya termasuk sosial media, dapat me­ngakses semua in­for­masi se­suai kebutu­han. Pun de­mi­kian, me­mang ada sisi ne­gatif, semisal por­nografi. Inter­net juga bisa me­rusak mental. Adu argu­men­tasi menunjukkan bah­wa mereka punya rasa per­caya diri. Tak ada ke­san cang­gung di hadapan pe­jabat seka­lipun.
Story telling
Pada giliran berikut secara per­­sonal, siswa menunjukkan ke­­lincahan terkait peran ganda dan langsung lewat sebuah le­gen­da. Di atas altar berukuran 2x2 meter, Pratiwi Anastia Sim­bolon siswa kelas 4 SD 030930 Pa­­rongil, Kecamatan Silima Pung­ga-Pungga didaulat s­e­ba­gai penyaji pertama. Tubuh mu­ngil ber­wajah mena­wan ini be­gitu smart. Mengenakan baju me­rah sedikit silau serta ber­lengan pendek, perempuan ini mem­per­­­kenalkan diri.
Bahasa Inggris sepertinya men­jadi bagian dari jiwa sejak mengenal kata.Allow me to intro­duce my self. My name is Pra­tiwi, ujarnya sembari sedikit membungkukkan kepala pertan­da hor­mat buat hadirin saat mu­lai berlakon.
Full in english and automatically. Ini fakta tampilan bocah dari desa mampu memukau. Pa­dahal di lingkungan seko­lah di­maksud terbilang jarang tersedia kursus. Sekolah level SD di desa belum menyediakan materi pe­la­jaran ini. Dia memberi pe­ng­antar bahwa cerita rakyat di Pa­dang Sumatera Barat akan di­ba­wakan.
Di bawah terik matahari, Pra­tiwi me­merankan bagaimana kisah pilu Malin­kundang di kam­pung halaman. Berbekal doa restu ibu, dia merantau hingga menjadi kaya raya. Doa bunda senantiasa bersamanya. Pada se­si ini, pemain mengenakan topi layaknya seorang pria. Lalu dalam hitungan detik, dia meng­ganti peran sebagai seorang ibu. Kerudung dililitkan di kepala sem­bari berjalan mencari putra tercinta. Dalam sebuah kesem­patan, bunda mende­ngar kabar, Malinkundang sudah sukses. Dia berha­sil bertemu. Namun apa? Malinkundang menistakan sang ibu.
You are not my mother. I dont know you,” kata Malin­kun­dang disuarakan Pratiwi de­ngan nada marah dan kesal. Kala itu, Pratiwi mengenakan topi iba­rat orang besar.
Really, I am your mother. You are my son,” kata ibu Malinkundang lagi. Dengan lin­cah, Pratiwi melilitkan keru­du­ng di wajah persis seorang ibu da­tang dari desa. Ucapan dusta oleh putranya tak membuat bun­da menangis patah arang. Dia ke­mudian menemui istri Malin­kundang. Lagi-lagi, Pratiwi mampu bergaya layaknya seo­ra­ng istri sombong.
I don,t know you. I hate you,” kata istri Malinkundang. Sang bunda pun putus asa. Tak lama berselang, kedurha­kaan ber­buah petaka dimana Ma­linkun­dang jatuh miskin. Bis­nisnya bangkrut. Dia minta ma­af kepada perempuan yang me­lahirkannya, namun penye­salan selalu terlambat.
Legenda Malinkundang, bu­kan hanya ditampil­kan Pra­tiwi. Dimas Nainggolan siswa kelas IX SMPN 2 Bangun Keca­matan Parbuluan malah more fluent. Mengapa? Lakon­nya mendekati kenya­taan. Apalagi, dia menge­na­kan ko­piah putih dan pakaian muslim ala koko agak kusam. Persis cermin keluar­ga seder­hana. Guna mendekatkan diri pa­da cerita sebenarnya, kain sarung kotak-kotak pun digan­tu­ngkan di bahu memanjang ke ping­gang. Pelajar ini memilih rum­put hijau menjadi area per­tunjukan.
Dimas pria bertubuh tambun adalah putra dari keluarga seo­rang petani berdo­misili di Desa Siga­lingging Kecamatan Parbu­luan. Sehari-hari ayahanda Raja Nai­nggolan dan bunda bekerja di ladang bertanam jeruk manis dan saat ini merawat cabe me­rah. Pengetahuan bahasa Inggris ditimba melalui kursus di seki­taran rumah mulai kelas 4 SD sampai kelas 5. Kegiatan non for­mal terhenti di kelas 6 lan­taran bersiap mengikuti ujian na­sional.
Sejak di kursi SMP, bidang studi ini menjadi favorit. Salah satu strategi adalah rajin mem­baca dan mengulangi tayangan video. Kini, huruf “r” nya pun tak lagi terdengar di pengu­ca­pan. Marianna Limbong, guru di sekolah itu menyebut, pihak­nya memberi bimbingan setiap hari. Siswa tak lagi punya waktu luang. Itu siasat agar anak desa mampu mengim­bangi pelajar di kota.
Penulis melihat keakraban Marianna dan Dimas kala ma­kan siang pasca agenda. Guru ini memper­lakuan siswa layak­nya seorang anak penuh kasih sa­yang. Menu enak disuguhkan. Hanya saja, Dimas me­nyimpan sikap enggan melalap makanan le­zat tadi.
Sementara itu, Endro Manik siswa kelas 5 SD 030334 Sum­bul mengede­pan­kan potensi dan kearifan lokal. Sehelai ulos Batak melilit di pinggang sedang di bahu menggantung ulos.
Dia bercerita tentang perjua­ngan se­orang petani mendapatkan ikan di Danau Toba. Kepala keluarga itu rutin meman­cing. Sedang Silvia Manalu seorang pelajar SMP memperkenalkan cerita rak­yat Pakpak terpopuler bertajuk Nantam­puk Mas. Gadis berambut lurus hampir seping­gang ini mengenakan pakaian khas simbol suku Pakpak.
Seruling Emas
Bukan hanya piawai berperan bak artis. Potensi generasi pemuda di Dairi, terbukti cukup tangguh olah vocal. 300 siswa SD, SMP dan SMA berbaris meniup seru­ling melantunkan ragam tembang lewat suara lobang bambu. Dipan­du seniman Martogi Sitohang, pe­lajar memulai aksinya dengan lagu berjudul tangiang ni dainang, dii­kuti tiris mo, taridem-idemtolu sa hundulanhingga ditutup hymne guru.
Beberapa diantaranya menge­nakan ulos Batak di bahu. Mereka tampil apa adanya mengesankan be­rasal dari desa. Jauh dari eksk­lusif. Nada berdendang syahdu dan kocak ditiup silih berganti. Se­ru­ling, merupakan alat musik tradisio­nal Batak Toba yang kian reduh. Sehubu­ngan itu, keter­ta­rikan siswa adalah solusi memper­tahankan warisan budaya.
Acara diakhiri sajian marching band beberapa sekolah dian­ta­ranya SMPN 1 Sidikalang, SMA N 1 Sidikalang, SMA St Pet­rus Si­dikalang serta Ar Rahman dari Desa Pasi Ke­ca­matan Berampu.
Bupati KRA Johnny Sitohang Adine­goro dan Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengapresias. Kualitas pelajar melejit kencang. Dia berobsesi, sekolah mene­rap­­kan english day. Relevan dengan itu, para juara akan disertakan saat menjamu tamu pemerintah. Mere­ka bakal sering tampil di beberapa even penting.
Sitohang bergelar Oppu Clin­ton bermimpi, suatu hari, akan ter­jaring diplomat handal, sutra­dara berkelas inter­nasional serta calon pemimpin bangsa dari wila­yah binaannya.
“Saya dan tuan tentu terpukau me­nyak­sikan kepiawaian tadi. Kuantita sosok cerdas dimaksud, sesungguhnya jauh lebih banyak. Penampilan pelajar terbatas oleh ruang dan kesem­patan”.
Namun, kita perlu ingat, kem­a­hi­ran kusuma bangsa, bukan mur­ni atas kemampuan pribadi. Guru, pengelola kursus dan Dinas Pendidikan serta pengambil kebi­ja­kan punya andil penting memo­tivasi anak didik. Karenanya, ja­ngan sese­kali menyakiti guru! Hor­matilah guru. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar