Senin, 23 Mei 2016

Tiada Hari Tanpa Produktivitas


(Analisa/sarifuddin siregar) MAMIKPIK: Seorang ibu rumah tangga di Dusun Lau Mill Sialaman Desa Lau Mill Kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi memecahkan kemiri berkulit dengan alat  sederhana  atau disebut mamikpik guna mengambil isi.
Oleh: Sarifuddin Siregar
Ktak...ktak...ktak. Begitu suara pukulan bagai saling bersahut terdengar antara satu rumah dengan rumah tetangga di Dusun Lau Mill Sialaman Desa Lau Mill Kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi, Sabtu lalu. Suara tersebut menggambarkan, kesibukan anggota keluarga di permukiman itu. Ya, mereka memang gigih mengisi waktu untuk mendapatkan rupiah.
Tangan kanan Relly Marcelina boru Sinaga tampak tak henti memukulkan ‘pikpik (alat pemecah) ke landasan batu setebal 10 sentimeter. Sementara tangan kiri menyisipkan biji kemiri kering ke lubang pikpik tadi. Begitu kegiatan dilakukan tanpa kenal lelah. Sepertinya, memecahkan sebiji kemiri butuh waktu sekejap mata atau bahkan lebih cepat. Dia berpacu dengan waktu. Pikpik tersebut, terlihat sederhana. Terdiri dari potongan bambu dimana di bagian ujung dirangkai kulit melingkar untuk menyisipkan kemiri disertai penutup.
Ibu rumah tangga ini menangani sendiri tugas tersebut. Dia ditemani si buah hati. Sang suami, juga bekerja mencari nafkah. Rumah berkonstruksi setengah permanen terasa sejuk oleh semangat hidup.
Relly menyebut, kemiri tersebut bukanlah miliknya. Dia hanya upahan. Barang itu adalah punya toke. Untuk ukuran karung besar, mereka diupah Rp30 ribu. Biasanya, tauke membagi sejumlah karung berisi buah ke rumah-rumah penduduk. Setelah selesai dikupas, bumbu masakan itu diambil lalu kulit ditinggal dan menjadi hak pekerja. Limbah kemudian dijual kepada orang lain seharga Rp500 per kilo. Kulit kemiri, bisa dipakai untuk memanggang daging pengganti arang. Kualitas lebih baik lantaran tidak disertai jilatan api. Karenanya, prospek pasar adalah ke Kabanjahe dan Medan.
Sementara itu, di seberang kediaman Relli, terlihat 2 orang melakoni peker­jaan serupa. Lamria boru Aritonang gelar Oppu Butet mengatakan, sudah lama menekuni aktivitas itu. Pasalnya, mereka tidak punya ladang. Tidak sanggup memberi lahan. Harganya selangit.
Diakui, pengganti keringat yang diterima tidaklah seberapa dibanding energi terkuras. Mereka memilih mene­kuni demi mendapatkan rupiah halal. Satu karung besar, tuntas dikerjakan tiga orang dalam satu hari.
Selain mamikpik, pelataran jejeran rumah di sana juga diisi pengeringan buah pinang. Buah segar dibelah lalu dijemur di panas matahari. Kendati jauh dari pusat keramaian, suasana di kam­pung ini terasa bergairah dan jauh dari kesan jenuh. Tak sejengkal pun lahan terlantar. Tanaman pisang, kakao, kemiri, jagung dan durian terbentang luas. Tiada hari tanpa panen duit.
Kepala Desa Lau Mill, Lau­rensius Sianturi menerangkan, wilayah binaan­nya dihuni 535 kepala keluarga. 95 per­sen di antaranya menyandarkan peng­hasilan pada sektor pertanian. Budidaya tanaman, tidaklah menghasil­kan uang setiap minggu apalagi setiap hari. Banyak waktu senggang. Karena­nya, hari-hari tersebut mesti diisi buat mendapatan uang.
Sekarang, jagung sedang memasuki pengisian biji. Tentu petani tidak ke ladang. Se­mentara itu, beras harus tetap dibeli dan belanja kebutuhan sekolah senantiasa tersedia setiap hari. Untuk menjawab keperluan itu, masyarakat mempergunakan kesempatan ter­masuk upahan melalui ma­mikpik.
Kampung tersebut hampir tanpa lahan tidur. Batas antar ladang, biasanya ditanami kemiri. Tanpa terasa, beberapa tahun kemudian, sudah berproduksi. Se­lanjutnya, mengharapkan hasil durian, cenderung satu kali setahun. Se­lain bertani, penduduk juga menekuni peter­nakan. Ditarget, ketika proses pendaf­taran siswa atau mahasiswa baru telah tiba, hewan peliharaan sudah layak jual.
Memang, di desa ini, tiada hari tanpa produktivitas. Semua ulet, sibuk bekerja kejar uang. Pun begitu, peradaban atau nilai sosaial budaya tetap dikedepankan. Sialabane atau serikat tolong menolong tetap diaktifkan, kata Laurensius.


Dicopi dari Harian Analisa edisi Kamis 14 april 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar