Senin, 23 Mei 2016

Dinas Bina Marga Sumut Tidak Adil

Sidikalang, (Analisa). Kepala Dinas Bina Marga Sumut, Efendi Pohan dinilai tidak adil dalam alokasi anggaran ke kabupaten kota. 
Pendapat tersebut disampaikan Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Dairi, Rukyatno Nainggolan saat meninjau kerusakan jalan menghubungkan Sumbul-Tigalingga di Huta Manik, Jumat (20/5).
Diterangkan tampilan infrastruktur sangat buruk. Jauh dari kesan menyajikan layanan optimal kepada masyarakat. Di beberapa lokasi, terdapat genangan mirip kubangan dan di titik lainnya kehilangan bentuk akibat material konstruksi berlepasan. 
Padahal, wilayah itu merupakan sentra produksi pertanian. Selain itu, ruas ini adalah jalur alternatif andaikan Sumbul-Sidikalang diterpa longsor kejadian lainnya.
Diterangkan, panjang jalan propinsi di Kabupaten Dairi mencapai 75 kilometer. Namun, kegiatan pembangunan hanya berkisar 2 kilometer per tahun. Realitasnya, lebih 80 persen hancur berantakan. Kalau hanya 2 kilometer per tahun, kapan rampungnya? Belum sampai di ujung, yang di sini bakal berkeping-keping.
Rukyatno mencontohkan, jalur Sumbul-Tigalingg a berjarak 17 kilometer. Dan tahun 2016, hanya terplot 2 kilometer. Apa jadinya? Sukar dibayangkan, kapan dibenahi. 
Dia berharap, legislator mitra strategis Gubernur menunjukkan ‘taring’ pro rakyat. Percaya atau tidak, kontribusi memajukan daerah pemilihan masih terasa minim. Agak jarang terdengar, apa yang berhasil direalisasikan anggota DPRD Sumut dapil XI.
Kekecewaan juga disampaikan pemerhati pembangunan, Richard Eddy M Lingga. Dominan sarana transportasi di bawah kewenangan Dinas Bina Marga Sumut, rusak parah. Ini tidak lepas dari lemahnya pengawasan anggota dewan. 
DPRD Sumut punya kekuatan melakukan tekanan politik dan lobi untuk menggolkan berbagai aspirasi masyarakat. Sayangnya, langkah dimaksud dinilai minim, tandas Richard. Aktivitas cenderung rutinitas atau sepi gebrakan. Sehubungan itu, dia mengutarakan keheranan, apa hasil kunjungan reses setiap tahun? 
Dia pun berharap, Kadis Bina Marga mewujudkan perlakuan setara. Sangat bijak, kepala dinas kunjungan lapangan sesekali. Jangan hanya menyelesaikan tanggung jawab lewat laporan tertulis. Pembiaran ini, berpotensi mengganggu reputasi seorang gubernur.
Bila infrastruktur disajikan baik, dipastikan, kepercayaan rakyat akan tumbuh. Kalau jalan dan drainase jelek, tentu akan konsekwensi. Artinya, ini menyangkut martabat pemerintah Sumut. 
Bupati, KRA Johnny Sitohang Adinegoro mengakui, mutu jalan saat ini relatif jelek. Tahun ini akan ada pengaspalan sepanjang 2 kilometer. “Bersabarlah,” katanya. (ssr)


Disalin dari Harian Analisa edisi Selasa, 24 Mei 2016

Tiket Masuk TWI Sitinjo Memberatkan

Sidikalang, (Analisa). Tiket masuk ke Taman Wisata Iman Sitinjo di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi dinilai memberatkan.
Seorang pedagang di kawasan tersebut, Senin (23/5) mengatakan, secara umum penjaja souvenir dan produk lainnya turut terkena ekses. Kalau jumlah wisatawan meningkat, peluang mereka mendapatkan nafkah juga tinggi. Tentu, kalau pengunjung sepi, dipastikan transaksi minim. Itu hukum ekonomi.
Penjualan lesu mulai terasa sejak perayaan paskah dan libur panjang kemarin. Penjualan kotor Rp200 ribu per hari pun dirasa payah diraih. Kalau di awal peresmian tahun 2000 an, tak kemana Rp5 juta setiap hari minggu. Mungkin, ketika tarif dinaikkan per 1 Januari 2016, masyarakat dari berbagai penjuru terpaksa membayar lantaran kabar kurang mengenakkan belum menyebar. Beberapa minggu kemudian issu pemberatan meluas.
Diterangkan, di air terjun Sipiso-piso Tongging Kabupaten Tanah Karo dan Pasir Putih Kabupaten Samosir, karcis masuk hanya Rp2000. Siapapun beranggapan bahwa kutipan masih pada angka wajar. 
Sedang ke TWI, tiket orang dewasa menjadi Rp10 ribu dari sebelumnya Rp5000 dan anak-anak Rp5000 dari Rp2000 tahun 2015. Itu belum terhitung biaya parkir.
Pedagang pakaian dan souvenir itu menyebut, tahun kemarin, rombongan satu sekolah bisa sampai 10 bus. Begitu menengok konvoi, pedagang pun bersemangat. Sekarang, Kalau setiap bus diisi 40 orang, maka 10 bus terpaksa membayar Rp4 juta hanya untuk urusan masuk. 
Tak heran, dia pernah mlihat kelompok darmawisata putar haluan di SPBU di dekatnya lalu berpaling ke Pasir Putih. Pedagang ini berharap, Bupati mengevaluasi keputusan. Persaingan kian ketat dimana kabupaten/kota termasuk kawasan Danau Toba kian gencar promosi wisata.
Pendeta Piter Silitonga, pimpinan rombongan SD/SMP Methodist Romalbest Jalan Sukaria Medan di sela wisata rohani mengatakan, seyogianya retribusi diringankan. Lebih baik murah asalkan pengunjung membludak. Hal itu akan mempengaruhi minat pendatang.
“Saya kira, target utama adalah bagaimana menjadikan asset ini dirindukan masyarakat dari berbagai belahan dunia,” kata Pendeta Piter.
Menurutnya tarif Rp10 ribu untuk orang dewasa dan Rp5000 anak-anak, termasuk mahal. Bagaimana agar masyarakat tak jemu-jemu mengijakkan kaki, itu perlu dipertimbangkan pemerintah.
Kepala Bidang Parawisata pada Dinas Parawisata Kebudayaan Pemuda dan Olahg Raga, Marulak Situmorang membenarkan, taruf masuk dinaikkan per januari 2016. Dia berpendapat, angka tersebut relatif terjangkau. Penetapan telah memperhatikan besarnya biaya kebutuhan penataan dan pembangunan.
Diterangkan, target PAD dari objek itu Rp850 juta. Naik dibanding tahun 2015 sebesar Rp750 juta. Hingga kini, realisasi mencapai 60 persen. (ssr)


Disalin dari Harian Analisa edisi Selasa, 24 Mei 2016

Nyawa Tetangga Dihabisi Lantaran Sakit Hati

Sidikalang, (Analisa). Nyawa Rinai Pinem (55) penduduk Dusun Pangambatan Desa Sarintonu Kecamatan  Tigalingga Kabupaten Dairi, melayang, Jumat (20/5). 
Pria ini menjadi korban kesadisan  PS (32) yang tak lain adalah tetangga ladang korban.  Rinai mengalami beberapa luka. Diantaranya bersarang di lengan, dagu, punggung dan tangan akibat ayunan parang oleh PS.
Kapolres melalui Kapolsek Tigalingga, AKP Yanto Nurdin Halomoan, Minggu (22/5)  menerangkan, tersangka datang ke Polsek untuk  menyerahkan diri setelah melakukan aksi. Polisi segera mengamankan tersangka diikuti olah tempat kejadian perkara. Dalam kasus ini, penyidik menjadikan parang sebagai barang bukti.
Halomoan menerangkan, kasus pembunuhan diduga bermotif sakit hati.  Dari hasil pemeriksaan, tersangka merasa tersinggung atas perlakuan dan ucapan korban. 
Pengakuan tersangka, kata Halomoan,  PS dilarang  melintas dari perbatasan ladang mereka. Padahal, ruas tersebut satu-satunya akses  menuju areal pertanian milik tersangka. Selisih paham sudah kerap terjadi. Namun berhasil diredakan pemuka masyarakat. 
Pada hari itu, korban menyampaikan larangan serupa. Lantaran  teguran tak dihiraukan, tersangka dilempar  pakai batu. Tak  terima atas  tindakan itu,  PS marah lalu bertengkar dengan  korban.  Tersangka tak mampu mengendalikan emosi hingga berujung maut. Korban tergeletak di tanah setelah dihujani benda tajam.
Jasad Rinai dibawa ke rumah sakit Polda Sumut Medan  guna kepentingan otopsi. Halomoan  menambahkan, jenajah telah diserahkan kepada pihak keluarga. Saat ini prosesi adat sedang berlangsung. (ssr)

Disalin dari Harian Analisa, Selasa, 24 Mei 2016 

Tiada Hari Tanpa Produktivitas


(Analisa/sarifuddin siregar) MAMIKPIK: Seorang ibu rumah tangga di Dusun Lau Mill Sialaman Desa Lau Mill Kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi memecahkan kemiri berkulit dengan alat  sederhana  atau disebut mamikpik guna mengambil isi.
Oleh: Sarifuddin Siregar
Ktak...ktak...ktak. Begitu suara pukulan bagai saling bersahut terdengar antara satu rumah dengan rumah tetangga di Dusun Lau Mill Sialaman Desa Lau Mill Kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi, Sabtu lalu. Suara tersebut menggambarkan, kesibukan anggota keluarga di permukiman itu. Ya, mereka memang gigih mengisi waktu untuk mendapatkan rupiah.
Tangan kanan Relly Marcelina boru Sinaga tampak tak henti memukulkan ‘pikpik (alat pemecah) ke landasan batu setebal 10 sentimeter. Sementara tangan kiri menyisipkan biji kemiri kering ke lubang pikpik tadi. Begitu kegiatan dilakukan tanpa kenal lelah. Sepertinya, memecahkan sebiji kemiri butuh waktu sekejap mata atau bahkan lebih cepat. Dia berpacu dengan waktu. Pikpik tersebut, terlihat sederhana. Terdiri dari potongan bambu dimana di bagian ujung dirangkai kulit melingkar untuk menyisipkan kemiri disertai penutup.
Ibu rumah tangga ini menangani sendiri tugas tersebut. Dia ditemani si buah hati. Sang suami, juga bekerja mencari nafkah. Rumah berkonstruksi setengah permanen terasa sejuk oleh semangat hidup.
Relly menyebut, kemiri tersebut bukanlah miliknya. Dia hanya upahan. Barang itu adalah punya toke. Untuk ukuran karung besar, mereka diupah Rp30 ribu. Biasanya, tauke membagi sejumlah karung berisi buah ke rumah-rumah penduduk. Setelah selesai dikupas, bumbu masakan itu diambil lalu kulit ditinggal dan menjadi hak pekerja. Limbah kemudian dijual kepada orang lain seharga Rp500 per kilo. Kulit kemiri, bisa dipakai untuk memanggang daging pengganti arang. Kualitas lebih baik lantaran tidak disertai jilatan api. Karenanya, prospek pasar adalah ke Kabanjahe dan Medan.
Sementara itu, di seberang kediaman Relli, terlihat 2 orang melakoni peker­jaan serupa. Lamria boru Aritonang gelar Oppu Butet mengatakan, sudah lama menekuni aktivitas itu. Pasalnya, mereka tidak punya ladang. Tidak sanggup memberi lahan. Harganya selangit.
Diakui, pengganti keringat yang diterima tidaklah seberapa dibanding energi terkuras. Mereka memilih mene­kuni demi mendapatkan rupiah halal. Satu karung besar, tuntas dikerjakan tiga orang dalam satu hari.
Selain mamikpik, pelataran jejeran rumah di sana juga diisi pengeringan buah pinang. Buah segar dibelah lalu dijemur di panas matahari. Kendati jauh dari pusat keramaian, suasana di kam­pung ini terasa bergairah dan jauh dari kesan jenuh. Tak sejengkal pun lahan terlantar. Tanaman pisang, kakao, kemiri, jagung dan durian terbentang luas. Tiada hari tanpa panen duit.
Kepala Desa Lau Mill, Lau­rensius Sianturi menerangkan, wilayah binaan­nya dihuni 535 kepala keluarga. 95 per­sen di antaranya menyandarkan peng­hasilan pada sektor pertanian. Budidaya tanaman, tidaklah menghasil­kan uang setiap minggu apalagi setiap hari. Banyak waktu senggang. Karena­nya, hari-hari tersebut mesti diisi buat mendapatan uang.
Sekarang, jagung sedang memasuki pengisian biji. Tentu petani tidak ke ladang. Se­mentara itu, beras harus tetap dibeli dan belanja kebutuhan sekolah senantiasa tersedia setiap hari. Untuk menjawab keperluan itu, masyarakat mempergunakan kesempatan ter­masuk upahan melalui ma­mikpik.
Kampung tersebut hampir tanpa lahan tidur. Batas antar ladang, biasanya ditanami kemiri. Tanpa terasa, beberapa tahun kemudian, sudah berproduksi. Se­lanjutnya, mengharapkan hasil durian, cenderung satu kali setahun. Se­lain bertani, penduduk juga menekuni peter­nakan. Ditarget, ketika proses pendaf­taran siswa atau mahasiswa baru telah tiba, hewan peliharaan sudah layak jual.
Memang, di desa ini, tiada hari tanpa produktivitas. Semua ulet, sibuk bekerja kejar uang. Pun begitu, peradaban atau nilai sosaial budaya tetap dikedepankan. Sialabane atau serikat tolong menolong tetap diaktifkan, kata Laurensius.


Dicopi dari Harian Analisa edisi Kamis 14 april 2016

20 Siswa SMAN Silahisabungan ke PTN

Sidikalang, (Analisa). Sebanyak 20 siswa binaan SMA Negeri 1 Silahisabungan Kabupaten Dairi, diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lewat jalur SNMPTN 2016. 
Kepala Sekolah, Sadiman Sigiro ditemui di Sidikalang, Jumat (20/5) mengatakan, dari angka itu, sebanyak 17 pelajar lolos lewat bidik misi. Untuk tingkat kabupaten, raihan mereka berada di posisi pertama atau 20,89 persen dimana siswa usulan tercatat 96 orang. Beberapa siswa diterima di Universitas Diponegoro, USU, Universitas Negeri Jakarta dan Padang.
Diterangkan, pada 2013, sebanyak 46 dari 66 pelajar masuk melalui jalur SNMPTN, tahun 2014 38 dari 60 orang dan 2015 terdata 44 dari 90 siswa.
Dijelaskan, SMAN 1 Silahisabungan menyandang akrediasi A. Dan dari sisi pengelolaan, merupakan satu-satunya sekolah peraih Adiwiyata Nasional di daerah otonom ini. (ssr)

Dikutip dari Harian Analisa edisi Senin, 23 mei 2016

Par Dairi Bisa!


(Analisa/sarifuddin siregar) TERAMPIL: Bupati Kabupaten Dairi KRA Johnny Sitohang Adinegoro diabadikan  bersama Pratiwi Anastia Simbolon dan Endro Manik pelajar SD yang terampil berbahasa Inggris pada peringatan Hardiknas di Lapangan Sudirman Sidikalang, baru-baru ini.

Oleh: Sarifuddin Siregar 

Oleh: Sarifuddin Siregar UPACARA peringatan Hari Pen­didikan Nasional (Har­dik­nas), 2 Mei 2016 di Lapangan Su­dir­man Sidikalang Kabupaten Dairi, terasa lain dibanding pelaksanaan tahun sebelumnya. Kali ini, penye­lenggaraan terke­san luar biasa. Excellent, begitu kata pelajar yang cakap berbahasa Inggris. Fantastis, ujar teman. Uli nai tutu, ucap rekan berdialeg Toba.
Agenda itu merupakan ruang ter­hormat bagi para siswa unjuk ke­bolehan. Bila pada kegiatan ter­dahulu cenderung seremoni mengedepankan pem­bacaan pi­dato menteri, kali ini justru me­nampilkan talenta-talenta titipan Tuhan. Andaikan tuan hadir, tam­pilan ini merupakan realitas bah­wa anak-anak desa tak kalah di­banding di perkotaan. Par Dairi, bi­sa! Bisa mengukir prestasi! Ba­rangkali, kalimat ini ideal memo­tivasi sekaligus parameter bahwa daerah otonom sentra kopi dan jeruk manis ini, adalah guda­ngnya cendikiawan bangsa. Per­caya atau tidak, Dairi adalah kepingan Tanah Kanaan yang di­janjikan Tuhan.
Bila di era sekarang bercokol se­jumlah nama di panggung na­sional seumpana DR Junimart Gir­sang anggota Komisi 3 Fraksi PDIP DPR RI, Vicner Sinaga Di­rektur Operasi Indonesia Timur PT PLN, Juniver Girsang penga­cara kondang, MP Tu­manggor Ke­tua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Robert Njo dan Togam Gultom pe­ngu­saha papan atas, DR Sabam Malau Rektor Universitas HKBP No­mensen, DR Kastorius Sinaga dosen pasca sarjana Universitas In­donesia yang juga mantan Pe­nasehat Kapolri ke depan, gene­rasi penerus wajar lebih jamak. Be­tapa tidak? Cikal bakal ter­sebut sudah terlihat. Bahkan, men­tal mereka sepertinya teruji ken­dati usia relatif belia.
Seputar gemilang SMA Ne­geri 1 Sidikalang, tentulah bukan isu baru. Maklum, alumni sekolah ini sudah menembus berbagai perguruan tinggi negeri hingga Pulau Jawa. Karenanya, lumrah juga kalau panitia hanya melua­ng­kan kesempatan bagi siswa ini buat menggelar vocal group, me­lantunkan lagu versi Batak Toba, In­donesia serta senandung You Raise me Up.
Kekaguman muncul kala sis­wa SMAN Parbu­luan dilaga de­ng­an SMAN Sumbul terkait pan­dangan keberadaan internet. Ko­m­petisi dilangsung­kan di ruang terbuka di hadapan publik. Esra Si­tumo­rang, Simpani Asri Ti­nam­bunan dan Febrina Sagala me­maparkan penda­pat secara lu­gas meng­hadapi rival Juan Sia­haan dan rekan. Gambaran um­um, bahwa internet tersebut pun­ya peran penting baik dalam sek­tor pendidikan maupun eko­no­mi. Melalui jaringan dunia ma­ya termasuk sosial media, dapat me­ngakses semua in­for­masi se­suai kebutu­han. Pun de­mi­kian, me­mang ada sisi ne­gatif, semisal por­nografi. Inter­net juga bisa me­rusak mental. Adu argu­men­tasi menunjukkan bah­wa mereka punya rasa per­caya diri. Tak ada ke­san cang­gung di hadapan pe­jabat seka­lipun.
Story telling
Pada giliran berikut secara per­­sonal, siswa menunjukkan ke­­lincahan terkait peran ganda dan langsung lewat sebuah le­gen­da. Di atas altar berukuran 2x2 meter, Pratiwi Anastia Sim­bolon siswa kelas 4 SD 030930 Pa­­rongil, Kecamatan Silima Pung­ga-Pungga didaulat s­e­ba­gai penyaji pertama. Tubuh mu­ngil ber­wajah mena­wan ini be­gitu smart. Mengenakan baju me­rah sedikit silau serta ber­lengan pendek, perempuan ini mem­per­­­kenalkan diri.
Bahasa Inggris sepertinya men­jadi bagian dari jiwa sejak mengenal kata.Allow me to intro­duce my self. My name is Pra­tiwi, ujarnya sembari sedikit membungkukkan kepala pertan­da hor­mat buat hadirin saat mu­lai berlakon.
Full in english and automatically. Ini fakta tampilan bocah dari desa mampu memukau. Pa­dahal di lingkungan seko­lah di­maksud terbilang jarang tersedia kursus. Sekolah level SD di desa belum menyediakan materi pe­la­jaran ini. Dia memberi pe­ng­antar bahwa cerita rakyat di Pa­dang Sumatera Barat akan di­ba­wakan.
Di bawah terik matahari, Pra­tiwi me­merankan bagaimana kisah pilu Malin­kundang di kam­pung halaman. Berbekal doa restu ibu, dia merantau hingga menjadi kaya raya. Doa bunda senantiasa bersamanya. Pada se­si ini, pemain mengenakan topi layaknya seorang pria. Lalu dalam hitungan detik, dia meng­ganti peran sebagai seorang ibu. Kerudung dililitkan di kepala sem­bari berjalan mencari putra tercinta. Dalam sebuah kesem­patan, bunda mende­ngar kabar, Malinkundang sudah sukses. Dia berha­sil bertemu. Namun apa? Malinkundang menistakan sang ibu.
You are not my mother. I dont know you,” kata Malin­kun­dang disuarakan Pratiwi de­ngan nada marah dan kesal. Kala itu, Pratiwi mengenakan topi iba­rat orang besar.
Really, I am your mother. You are my son,” kata ibu Malinkundang lagi. Dengan lin­cah, Pratiwi melilitkan keru­du­ng di wajah persis seorang ibu da­tang dari desa. Ucapan dusta oleh putranya tak membuat bun­da menangis patah arang. Dia ke­mudian menemui istri Malin­kundang. Lagi-lagi, Pratiwi mampu bergaya layaknya seo­ra­ng istri sombong.
I don,t know you. I hate you,” kata istri Malinkundang. Sang bunda pun putus asa. Tak lama berselang, kedurha­kaan ber­buah petaka dimana Ma­linkun­dang jatuh miskin. Bis­nisnya bangkrut. Dia minta ma­af kepada perempuan yang me­lahirkannya, namun penye­salan selalu terlambat.
Legenda Malinkundang, bu­kan hanya ditampil­kan Pra­tiwi. Dimas Nainggolan siswa kelas IX SMPN 2 Bangun Keca­matan Parbuluan malah more fluent. Mengapa? Lakon­nya mendekati kenya­taan. Apalagi, dia menge­na­kan ko­piah putih dan pakaian muslim ala koko agak kusam. Persis cermin keluar­ga seder­hana. Guna mendekatkan diri pa­da cerita sebenarnya, kain sarung kotak-kotak pun digan­tu­ngkan di bahu memanjang ke ping­gang. Pelajar ini memilih rum­put hijau menjadi area per­tunjukan.
Dimas pria bertubuh tambun adalah putra dari keluarga seo­rang petani berdo­misili di Desa Siga­lingging Kecamatan Parbu­luan. Sehari-hari ayahanda Raja Nai­nggolan dan bunda bekerja di ladang bertanam jeruk manis dan saat ini merawat cabe me­rah. Pengetahuan bahasa Inggris ditimba melalui kursus di seki­taran rumah mulai kelas 4 SD sampai kelas 5. Kegiatan non for­mal terhenti di kelas 6 lan­taran bersiap mengikuti ujian na­sional.
Sejak di kursi SMP, bidang studi ini menjadi favorit. Salah satu strategi adalah rajin mem­baca dan mengulangi tayangan video. Kini, huruf “r” nya pun tak lagi terdengar di pengu­ca­pan. Marianna Limbong, guru di sekolah itu menyebut, pihak­nya memberi bimbingan setiap hari. Siswa tak lagi punya waktu luang. Itu siasat agar anak desa mampu mengim­bangi pelajar di kota.
Penulis melihat keakraban Marianna dan Dimas kala ma­kan siang pasca agenda. Guru ini memper­lakuan siswa layak­nya seorang anak penuh kasih sa­yang. Menu enak disuguhkan. Hanya saja, Dimas me­nyimpan sikap enggan melalap makanan le­zat tadi.
Sementara itu, Endro Manik siswa kelas 5 SD 030334 Sum­bul mengede­pan­kan potensi dan kearifan lokal. Sehelai ulos Batak melilit di pinggang sedang di bahu menggantung ulos.
Dia bercerita tentang perjua­ngan se­orang petani mendapatkan ikan di Danau Toba. Kepala keluarga itu rutin meman­cing. Sedang Silvia Manalu seorang pelajar SMP memperkenalkan cerita rak­yat Pakpak terpopuler bertajuk Nantam­puk Mas. Gadis berambut lurus hampir seping­gang ini mengenakan pakaian khas simbol suku Pakpak.
Seruling Emas
Bukan hanya piawai berperan bak artis. Potensi generasi pemuda di Dairi, terbukti cukup tangguh olah vocal. 300 siswa SD, SMP dan SMA berbaris meniup seru­ling melantunkan ragam tembang lewat suara lobang bambu. Dipan­du seniman Martogi Sitohang, pe­lajar memulai aksinya dengan lagu berjudul tangiang ni dainang, dii­kuti tiris mo, taridem-idemtolu sa hundulanhingga ditutup hymne guru.
Beberapa diantaranya menge­nakan ulos Batak di bahu. Mereka tampil apa adanya mengesankan be­rasal dari desa. Jauh dari eksk­lusif. Nada berdendang syahdu dan kocak ditiup silih berganti. Se­ru­ling, merupakan alat musik tradisio­nal Batak Toba yang kian reduh. Sehubu­ngan itu, keter­ta­rikan siswa adalah solusi memper­tahankan warisan budaya.
Acara diakhiri sajian marching band beberapa sekolah dian­ta­ranya SMPN 1 Sidikalang, SMA N 1 Sidikalang, SMA St Pet­rus Si­dikalang serta Ar Rahman dari Desa Pasi Ke­ca­matan Berampu.
Bupati KRA Johnny Sitohang Adine­goro dan Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengapresias. Kualitas pelajar melejit kencang. Dia berobsesi, sekolah mene­rap­­kan english day. Relevan dengan itu, para juara akan disertakan saat menjamu tamu pemerintah. Mere­ka bakal sering tampil di beberapa even penting.
Sitohang bergelar Oppu Clin­ton bermimpi, suatu hari, akan ter­jaring diplomat handal, sutra­dara berkelas inter­nasional serta calon pemimpin bangsa dari wila­yah binaannya.
“Saya dan tuan tentu terpukau me­nyak­sikan kepiawaian tadi. Kuantita sosok cerdas dimaksud, sesungguhnya jauh lebih banyak. Penampilan pelajar terbatas oleh ruang dan kesem­patan”.
Namun, kita perlu ingat, kem­a­hi­ran kusuma bangsa, bukan mur­ni atas kemampuan pribadi. Guru, pengelola kursus dan Dinas Pendidikan serta pengambil kebi­ja­kan punya andil penting memo­tivasi anak didik. Karenanya, ja­ngan sese­kali menyakiti guru! Hor­matilah guru. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
UPACARA peringatan Hari Pen­didikan Nasional (Har­dik­nas), 2 Mei 2016 di Lapangan Su­dir­man Sidikalang Kabupaten Dairi, terasa lain dibanding pelaksanaan tahun sebelumnya. Kali ini, penye­lenggaraan terke­san luar biasa. Excellent, begitu kata pelajar yang cakap berbahasa Inggris. Fantastis, ujar teman. Uli nai tutu, ucap rekan berdialeg Toba.
Agenda itu merupakan ruang ter­hormat bagi para siswa unjuk ke­bolehan. Bila pada kegiatan ter­dahulu cenderung seremoni mengedepankan pem­bacaan pi­dato menteri, kali ini justru me­nampilkan talenta-talenta titipan Tuhan. Andaikan tuan hadir, tam­pilan ini merupakan realitas bah­wa anak-anak desa tak kalah di­banding di perkotaan. Par Dairi, bi­sa! Bisa mengukir prestasi! Ba­rangkali, kalimat ini ideal memo­tivasi sekaligus parameter bahwa daerah otonom sentra kopi dan jeruk manis ini, adalah guda­ngnya cendikiawan bangsa. Per­caya atau tidak, Dairi adalah kepingan Tanah Kanaan yang di­janjikan Tuhan.
Bila di era sekarang bercokol se­jumlah nama di panggung na­sional seumpana DR Junimart Gir­sang anggota Komisi 3 Fraksi PDIP DPR RI, Vicner Sinaga Di­rektur Operasi Indonesia Timur PT PLN, Juniver Girsang penga­cara kondang, MP Tu­manggor Ke­tua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Robert Njo dan Togam Gultom pe­ngu­saha papan atas, DR Sabam Malau Rektor Universitas HKBP No­mensen, DR Kastorius Sinaga dosen pasca sarjana Universitas In­donesia yang juga mantan Pe­nasehat Kapolri ke depan, gene­rasi penerus wajar lebih jamak. Be­tapa tidak? Cikal bakal ter­sebut sudah terlihat. Bahkan, men­tal mereka sepertinya teruji ken­dati usia relatif belia.
Seputar gemilang SMA Ne­geri 1 Sidikalang, tentulah bukan isu baru. Maklum, alumni sekolah ini sudah menembus berbagai perguruan tinggi negeri hingga Pulau Jawa. Karenanya, lumrah juga kalau panitia hanya melua­ng­kan kesempatan bagi siswa ini buat menggelar vocal group, me­lantunkan lagu versi Batak Toba, In­donesia serta senandung You Raise me Up.
Kekaguman muncul kala sis­wa SMAN Parbu­luan dilaga de­ng­an SMAN Sumbul terkait pan­dangan keberadaan internet. Ko­m­petisi dilangsung­kan di ruang terbuka di hadapan publik. Esra Si­tumo­rang, Simpani Asri Ti­nam­bunan dan Febrina Sagala me­maparkan penda­pat secara lu­gas meng­hadapi rival Juan Sia­haan dan rekan. Gambaran um­um, bahwa internet tersebut pun­ya peran penting baik dalam sek­tor pendidikan maupun eko­no­mi. Melalui jaringan dunia ma­ya termasuk sosial media, dapat me­ngakses semua in­for­masi se­suai kebutu­han. Pun de­mi­kian, me­mang ada sisi ne­gatif, semisal por­nografi. Inter­net juga bisa me­rusak mental. Adu argu­men­tasi menunjukkan bah­wa mereka punya rasa per­caya diri. Tak ada ke­san cang­gung di hadapan pe­jabat seka­lipun.
Story telling
Pada giliran berikut secara per­­sonal, siswa menunjukkan ke­­lincahan terkait peran ganda dan langsung lewat sebuah le­gen­da. Di atas altar berukuran 2x2 meter, Pratiwi Anastia Sim­bolon siswa kelas 4 SD 030930 Pa­­rongil, Kecamatan Silima Pung­ga-Pungga didaulat s­e­ba­gai penyaji pertama. Tubuh mu­ngil ber­wajah mena­wan ini be­gitu smart. Mengenakan baju me­rah sedikit silau serta ber­lengan pendek, perempuan ini mem­per­­­kenalkan diri.
Bahasa Inggris sepertinya men­jadi bagian dari jiwa sejak mengenal kata.Allow me to intro­duce my self. My name is Pra­tiwi, ujarnya sembari sedikit membungkukkan kepala pertan­da hor­mat buat hadirin saat mu­lai berlakon.
Full in english and automatically. Ini fakta tampilan bocah dari desa mampu memukau. Pa­dahal di lingkungan seko­lah di­maksud terbilang jarang tersedia kursus. Sekolah level SD di desa belum menyediakan materi pe­la­jaran ini. Dia memberi pe­ng­antar bahwa cerita rakyat di Pa­dang Sumatera Barat akan di­ba­wakan.
Di bawah terik matahari, Pra­tiwi me­merankan bagaimana kisah pilu Malin­kundang di kam­pung halaman. Berbekal doa restu ibu, dia merantau hingga menjadi kaya raya. Doa bunda senantiasa bersamanya. Pada se­si ini, pemain mengenakan topi layaknya seorang pria. Lalu dalam hitungan detik, dia meng­ganti peran sebagai seorang ibu. Kerudung dililitkan di kepala sem­bari berjalan mencari putra tercinta. Dalam sebuah kesem­patan, bunda mende­ngar kabar, Malinkundang sudah sukses. Dia berha­sil bertemu. Namun apa? Malinkundang menistakan sang ibu.
You are not my mother. I dont know you,” kata Malin­kun­dang disuarakan Pratiwi de­ngan nada marah dan kesal. Kala itu, Pratiwi mengenakan topi iba­rat orang besar.
Really, I am your mother. You are my son,” kata ibu Malinkundang lagi. Dengan lin­cah, Pratiwi melilitkan keru­du­ng di wajah persis seorang ibu da­tang dari desa. Ucapan dusta oleh putranya tak membuat bun­da menangis patah arang. Dia ke­mudian menemui istri Malin­kundang. Lagi-lagi, Pratiwi mampu bergaya layaknya seo­ra­ng istri sombong.
I don,t know you. I hate you,” kata istri Malinkundang. Sang bunda pun putus asa. Tak lama berselang, kedurha­kaan ber­buah petaka dimana Ma­linkun­dang jatuh miskin. Bis­nisnya bangkrut. Dia minta ma­af kepada perempuan yang me­lahirkannya, namun penye­salan selalu terlambat.
Legenda Malinkundang, bu­kan hanya ditampil­kan Pra­tiwi. Dimas Nainggolan siswa kelas IX SMPN 2 Bangun Keca­matan Parbuluan malah more fluent. Mengapa? Lakon­nya mendekati kenya­taan. Apalagi, dia menge­na­kan ko­piah putih dan pakaian muslim ala koko agak kusam. Persis cermin keluar­ga seder­hana. Guna mendekatkan diri pa­da cerita sebenarnya, kain sarung kotak-kotak pun digan­tu­ngkan di bahu memanjang ke ping­gang. Pelajar ini memilih rum­put hijau menjadi area per­tunjukan.
Dimas pria bertubuh tambun adalah putra dari keluarga seo­rang petani berdo­misili di Desa Siga­lingging Kecamatan Parbu­luan. Sehari-hari ayahanda Raja Nai­nggolan dan bunda bekerja di ladang bertanam jeruk manis dan saat ini merawat cabe me­rah. Pengetahuan bahasa Inggris ditimba melalui kursus di seki­taran rumah mulai kelas 4 SD sampai kelas 5. Kegiatan non for­mal terhenti di kelas 6 lan­taran bersiap mengikuti ujian na­sional.
Sejak di kursi SMP, bidang studi ini menjadi favorit. Salah satu strategi adalah rajin mem­baca dan mengulangi tayangan video. Kini, huruf “r” nya pun tak lagi terdengar di pengu­ca­pan. Marianna Limbong, guru di sekolah itu menyebut, pihak­nya memberi bimbingan setiap hari. Siswa tak lagi punya waktu luang. Itu siasat agar anak desa mampu mengim­bangi pelajar di kota.
Penulis melihat keakraban Marianna dan Dimas kala ma­kan siang pasca agenda. Guru ini memper­lakuan siswa layak­nya seorang anak penuh kasih sa­yang. Menu enak disuguhkan. Hanya saja, Dimas me­nyimpan sikap enggan melalap makanan le­zat tadi.
Sementara itu, Endro Manik siswa kelas 5 SD 030334 Sum­bul mengede­pan­kan potensi dan kearifan lokal. Sehelai ulos Batak melilit di pinggang sedang di bahu menggantung ulos.
Dia bercerita tentang perjua­ngan se­orang petani mendapatkan ikan di Danau Toba. Kepala keluarga itu rutin meman­cing. Sedang Silvia Manalu seorang pelajar SMP memperkenalkan cerita rak­yat Pakpak terpopuler bertajuk Nantam­puk Mas. Gadis berambut lurus hampir seping­gang ini mengenakan pakaian khas simbol suku Pakpak.
Seruling Emas
Bukan hanya piawai berperan bak artis. Potensi generasi pemuda di Dairi, terbukti cukup tangguh olah vocal. 300 siswa SD, SMP dan SMA berbaris meniup seru­ling melantunkan ragam tembang lewat suara lobang bambu. Dipan­du seniman Martogi Sitohang, pe­lajar memulai aksinya dengan lagu berjudul tangiang ni dainang, dii­kuti tiris mo, taridem-idemtolu sa hundulanhingga ditutup hymne guru.
Beberapa diantaranya menge­nakan ulos Batak di bahu. Mereka tampil apa adanya mengesankan be­rasal dari desa. Jauh dari eksk­lusif. Nada berdendang syahdu dan kocak ditiup silih berganti. Se­ru­ling, merupakan alat musik tradisio­nal Batak Toba yang kian reduh. Sehubu­ngan itu, keter­ta­rikan siswa adalah solusi memper­tahankan warisan budaya.
Acara diakhiri sajian marching band beberapa sekolah dian­ta­ranya SMPN 1 Sidikalang, SMA N 1 Sidikalang, SMA St Pet­rus Si­dikalang serta Ar Rahman dari Desa Pasi Ke­ca­matan Berampu.
Bupati KRA Johnny Sitohang Adine­goro dan Wakil Bupati Irwansyah Pasi mengapresias. Kualitas pelajar melejit kencang. Dia berobsesi, sekolah mene­rap­­kan english day. Relevan dengan itu, para juara akan disertakan saat menjamu tamu pemerintah. Mere­ka bakal sering tampil di beberapa even penting.
Sitohang bergelar Oppu Clin­ton bermimpi, suatu hari, akan ter­jaring diplomat handal, sutra­dara berkelas inter­nasional serta calon pemimpin bangsa dari wila­yah binaannya.
“Saya dan tuan tentu terpukau me­nyak­sikan kepiawaian tadi. Kuantita sosok cerdas dimaksud, sesungguhnya jauh lebih banyak. Penampilan pelajar terbatas oleh ruang dan kesem­patan”.
Namun, kita perlu ingat, kem­a­hi­ran kusuma bangsa, bukan mur­ni atas kemampuan pribadi. Guru, pengelola kursus dan Dinas Pendidikan serta pengambil kebi­ja­kan punya andil penting memo­tivasi anak didik. Karenanya, ja­ngan sese­kali menyakiti guru! Hor­matilah guru. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Menyandarkan Nafkah pada ‘Martonun Ulos’

(Analisa/sarifuddin siregar) ULOS BATAK: Tetty Manurung, gadis berparas cantik di Desa Silalahi 2 `Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi 'martonun ulos' Batak demi membantu orang tua, belum lama ini.

Oleh: Sarifuddin Siregar 
Seorang gadis berparas can­tik duduk di atas kasur hijau nan usang di teras rumah. Kedua kaki di­biarkan memanjang na­mun area ker­ja ditutup sarung un­tuk menjaga etika. Kediaman perma­nen itu tam­pak teduh. Tak banyak barang mewah di dalam. Di dekat pintu masuk, ber­jejer gulungan benang dan rang­kaian kayu alat kerja bergaya tra­disional.
Pandangan perempuan itu fo­kus ke jalinan benang meman­jang di ha­dapannya. Jemari tamp­ak begitu ce­katan dan lincah me­narik utasan berwarna terong pe­kat dari satu jalur ke jalur di se­be­lahnya yang beru­kuran cukup rapat.
Sesekali, tangan kanan ber­gerak me­narik sepotong kayu li­cin yang kemudian diselipkan di atas jalinan tadi. Kayu mirip rol pan­jang di era sekolahan tahun 1980 itu kemudian ditekan agar ra­jutan memadat. Se­sekali ter­dengar suara benturan agak halus pe­randa rongga antar benang te­lah tertutup.
Kurun waktu lumayan lama, pe­rempuan berambut hitam se­bahu ini, seakan bertahan di kasur tadi. Se­pertinya, dia berpacu de­ngan wak­tu guna menyelesaikan satu lem­baran kain karya kera­jinan tangan.
Pun demikian, pemilik kulit sa­wo matang nan manis ini ter­tengok mu­dah melempar senyum kala em­pat wartawan datang men­­dekat ke arah­nya. Kami me­ngam­bil posisi di teras berjarak se­kitar 2 meter agar tidak sampai mengganggu kegiatan. Semen­tara, perempuan baru menyele­sai­­kan ujian nasional SMA itu ka­mi persi­lah­kan mene­ruskan aktivitas. Lembaran mulai berbentuk. Uku­ran panjang dua jengkal ber­lebar satu meter itu sudah menjadi ba­kal kain.
Sementara itu, di pela­taran ru­mah, sang bunda Asda boru Sila­lahi (45) terlihat mengusap-usap cai­­ran ke gumpalan benang. Ben­da tersebut kemudian dikering­kan di bawah terpaan te­rik mata­hari. Me­reka intens melak­sana­kan tugas ma­sing-ma­sing sebagai sebagai sebuah taha­pan pe­­kerjaan.
‘Martonun ulos’, begitu orang Batak menyebut kegiatan se­de­mi­kian di Dusun 2 Silassang Desa Sila­lahi 2 Kecamatan Sila­hi­sa­bu­ngan Kabupaten Dairi, Su­matera Utara. Dalam bahasa umum, pe­ker­jaan ini diterjemah­kan de­ngan ka­ta ber­tenun. Mar­tonun, men­jadi sebuah ke­biasaan kaum kar­tini di Desa Si­lalahi-Paropo, per­kam­pungan indah dan mem­pe­sona di dekat desiran air dan gu­lungan ombak Danau Toba.
Tetty Manurung (18), itu nama pe­rempuan santun mengenakan bu­sana warna pink berliris yang me­ne­­rima diwawancarai. Dia me­­nga­ku, sudah bergelut di krea­si ini sejak kelas 3 SMP. Me­mang, ada naluri ingin menguasai warisan leluhur tersebut.
Ilmu itu diperoleh dari bunda. Ka­renanya, pengeta­huan relatif gam­pang ditangkap. Apa­lagi, jamak kaum hawa meng­geluti usaha sejenis di lingkungannya.
“Saya ingin melanjutkan ku­liah. Ingin ambil program studi geografi atau tata boga di Universitas Negeri Medan” kata anak kedua dari 3 ber­saudara, Sabtu (9/4). Dia ber­harap diterima lewat jalur bidik missi. Permohonan sudah dikirim ke panitia seleksi.
Mendengar penjelasan Tetty, Asda pun mendekat. Mudah-mu­da­­han­lah anakku lulus ke PTN. Biar bisa berguna buat ke­luar­ga, kata dia. Kalau kuliah ke swas­ta, biaya terlalu berat semen­tara kehidupan keluarga, sepe­nuh­nya bersandar pada hasil te­nunan.
Kerja Keras
13 tahun silam, dirinya me­rang­­kap menjadi kepala keluarga. Sang suami Jadi Manurung di­pang­gil meng­hadap Sang Pencip­ta. Sejak saat itu, mau tidak mau, anak harus serta merta banting tu­lang bersa­ma­nya demi rupiah.
Jika tidak, ba­gai­mana mung­kin sanggup me­nyekolahkan? Ia ber­­syukur. Ter­nyata, ketiga anak­nya penurut dan me­ngerti betapa berat­nya be­ban hidup.
Hampir tak ada waktu luang. Pu­lang sekolah, langsung kerja. Ma­sing-masing sudah punya tang­gung jawab. Berbekal ijajah SMA, putra sulung bekerja di ta­nah rantau dan ting­gallah dia beri­kut Tetty dan Irvan Manu­rung pelajar SMP.
Ibu ini berperan ‘mengungga’ be­nang. Mengungga adalah taha­pan merubah benang menjadi kuat serta tanpa bulu. Pada proses ini, sejum­lah beras harus terlebih dahulu dimasak. Sesudahnya, be­nang dicelup ke nasi berair tajin. Se­­telah direndam beberapa me­nit, benang diangkat lalu dijemur. Pada saat pengeringan mesti juga disisir pakai brush lembut sehing­ga nasi tidak lengket. Jadi, sebe­lum jadi ulos, benang harus dika­sih makan nasi. Langkah lanjutan, Irvan me­nyu­­sun benang tadi ke dalam, be­berapa gu­lungan. Se­per­tinya mu­dah dice­rita­kan, na­mun se­sung­guhnya mesti telaten dan sa­bar melaksanakan.
Ketika gulungan rampung, ba­ru­­lah bahan dibawa ke meja mar­­to­nun. Meja ini, bukanlah se­perti me­ja di rumah. Terdiri dari be­berapa broti yang dipadu pakai paku ber­bentuk segi tiga atau dina­mai si­duruan. Penenun duduk di celah kayu ter­­dekat ke lantai. Sete­rusnya, be­­nang diselipkan bagai sebuah ru­mus mati yang merupa­kan tahapan pem­buatan ulos.
Tunduhan, mata-mata, baliga, par­giun bolon, hatolungan, totar, lidi-lidi dan panapari adalah ra­gam kayu perangkat kerja mar­to­nun dimaksud. Semua elemen ini punya fungsi spesifik dan sa­ling mendu­kung. Asda menerangkan, butuh mo­dal kurang lebih 65 ribu mem­beli be­nang untuk menghasilkan se­helai ulos ‘sigara-gara’. Per­leng­kapan adat istiadat itu dijual Rp150 ribu ke­­pada peda­gang pengumpul di ling­kungannya.
Biasanya, dise­rah­kan ke toke pada hari Minggu. Pro­duk ter­sebut kemudian dipasarkan ke Kabanjahe Kabu­paten Karo. Dika­takan, kaum ibu jamak ber­ge­lut di bisnis tenu­nan. Pasar­nya cu­kup terbuka. Bera­papun ba­rang, selalu laku. Produksi ulos hasil mesin tidaklah mem­pe­ngaruhi permintaan.
Dalam satu minggu rata-rata di­ha­silkan 3 helai. Itu ke­mam­puan rata-rata. Asda mengu­ta­ra­kan, ke­jar target 1 lembar per hari. Tapi, ka­l­au diutarakan de­mi­kian, mung­kin dianggap som­bong. Mau tidak mau, harus kerja ker­ja dan kerja su­paya dapat uang. Sum­ber keua­ngan hanya di­peroleh dari mar­tonun. Marto­nun tok, kata pe­rem­puan yang menekuni seni itu se­jak usia 13 tahun. Diutarakan, jikapun ada ban­tuan, hingga kini, dirinya belum per­nah kebagian. Dia sangat me­nan­tikan donasi, minimal motivasi.



Dikutip dari Harian Analisa edisi  Jumat 15 april 2016